Tersebutlah kisah perjalanan Rama dan Sinta, yang ditemani oleh Laksmana, adik Rama. Mereka tiba di sebuah hutan yang masih perawan. Karena telah menempuh perjalanan yang sangat panjang, mereka bermaksud beristirahat di hutan tersebut.
Setelah Rama dan Laksmana mendirikan tenda, mereka meninggalkan Sinta sendirian di dalam tenda sebab mereka ingin mencari makanan untuk mengisi perut mereka. Sebelum pergi, Rama membuat sebuah garis yang mengelilingi sekitar tenda dan berpesan kepada Sinta supaya jangan melewati batas tersebut.
Dalam pencarian makanan di hutan itu, Rama dan Laksmana terpisah agak jauh. Lesmana diminta oleh Rama untuk mencari air minum.
Arkian, Lesmana yang sedang mencari sumber air diamati dengan jeli oleh Sarpakenaka, raksesi/raksasa perempuan yang tinggal di dalam hutan tersebut. Ia adalah adik dari Rahwana, raja Alengka yang mashyur itu. Sarpakena merupakan raksasi yang besar nafsu asmaranya. Ia sendiri sebetulnya sudah diperistri oleh salah satu pembesar Alengka dan telah mempunyai satu anak bernama Jarini.
Tak mungkin baginya menemui Laksmana dalam ujud raksesi seperti itu, alih-alih lelaki tampan tersebut tertarik padanya, yang terjadi justru berlari ketakutan. Maka dengan kesaktiannya ia malih-rupa menjadi perempuan jelita dan serta merta berada di hadapan Lesmana.
Tentu saja Laksmana terkejut bukan main. Di dalam hutan yang sangat lebat seperti itu bertemu dengan perempuan yang sangat menawan parasnya.
“Wahai pemuda tampan, saya memberanikan diri hadir di hadapanmu untuk memohon belas kasih. Terus terang saja, saya jatuh cinta kepadamu ksatria tampan. Titahkan sebuah perintah, saya akan siap melaksanakan!”
Tanpa malu-malu Sarpakenaka mengumbar rayuan.
“Duh perempuan cantik, bidadari kah dirimu? Mengapa kamu berada di hutan ini sendirian saja? Hanya bidadari sajalah yang bisa datang di tempat ini. Tahukah kamu, aku hanyalah manusia biasa yang tak pantas mendapatkan cinta dari bidadari secantik dirimu. Aku sarankan datangilah kakakku di sebelah sana, ia lebih pantas mendapatkan dirimu. Sebab ia adalah raja dan junjunganku.”
Sarpakenaka sangat girang mendapatkan jawaban seperti itu. Tanpa membuang waktu, ia berlari menuju Rama dan langsung mengutarakan gejolak asmaranya.
“Wahai bidadari jelita, aku telah beristri. Tak mungkin bagiku membagi cinta dengannya. Sinta adalah istriku yang setia dan berbakti padaku. Temui saja adikku Laksmana, ia masih jejaka. Ia berada di sebelah sana!”
Sarpakenaka kembali kepada Laksmana. Tanpa mengindahkan tata krama ia segera memeluk erat Lesmana sambil mengumbar rayuan mautnya. Laksmana bukannya tertarik tetapi malah jijik menghadapi sikap Sarpakenaka.
Laksmana segera menghunus kerisnya, lalu berkata penuh ancaman kepada Sarpakenaka.
“Hai perempuan jelita, kalau melihat sikapmu ini kamu pasti bukan bidadari. Jangan-jangan kamu raksesi yang tengah menyamar menjadi seorang perempuan!”
Sebelum Sarpakenaka melepaskan pelukannya, Laksmana mengiris hidung Sarpakenaka. Raksesi itu berteriak histeris dan serta-merta ia beralih-rupa pada ujud sebenarnya.
“Awas kamu Laksmana, tunggu pembalasanku. Aku Sarpakenaka adik dari Rahwana raja Alengka. Kamu dan Rama akan mati di tangan Rahwana yang perkasa!”
Sarpakenaka berlari menuju Alengka sambil memegangi ujung hidungnya yang berdarah-darah.