Makan siang kali ini berasa hambar

Bagi Mas Suryat, kegiatan makan siang bersama dengan para staf menjadi sarana yang efektif untuk mengakrabkan dan mengenal lebih dekat. Setidaknya sebulan sekali ia mengajak para stafnya makan bersama di sebuah rumah makan yang tempatnya mudah dijangkau sehingga tak banyak menyita waktu untuk pergi ke sana.

Siang tadi, mereka makan dengan menu serba bebek.

Masing-masing memesan sesuai selera: goreng, bakar atau rica-rica. Aneka sambal tinggal pilih saja. Sejak berangkat dari kantor tadi, Mas Suryat memerhatikan salah satu stafnya yang kelihatan tidak bersemangat, cenderung bersikap murung. Bahkan ketika mereka memilih menu, staf tersebut tidak bergairah, hanya ikut-ikutan saja.

Agar suasana makan siang tidak terganggu oleh suasana hati satu anggota keluarga, keceriaan siang tadi yang terbangun harus berjalan terus. Peran Mas Suryat cukup dominan, sebab biasanya mereka bebas bicara apa saja. Tujuh orang yang tengah makan siang betul-betul telah menandaskan pesanan masing-masing.

***

Setengah jam menjelang bubaran kantor, Mas Suryat memanggil stafnya yang murung tadi, sebut saja namanya Tulegi. Gino – sang obe kesayangan Mas Suryat – dipanggilnya untuk menyajikan dua teh hangat.

“Kamu sedang ada masalah apa?”

Tulegi diam. Ia malah memainkan jemarinya. Mas Suryat jadi salah tingkah. Jangan-jangan Tulegi punya masalah yang sangat serius.

“Bapak tadi memerhatikan salah satu pelayan rumah makan, nggak?

Tulegi memberikan teka-teki yang mau tidak mau membuat Mas Suryat mengingat-ingat kejadian di rumah makan serba menu serba bebek.

“Kan banyak sekali pelayan, aku tak begitu perhatikan.”

“Tadi yang menyajikan minuman.”

Mas Suryat ingat. Anak perempuan usia kira-kira delapan belas tahunan, berseragam hitam-putih mungkin ia masih periode training.

“Iya, aku ingat. Memang ada apa?”

“Dia adik saya, pak! Baru tiga hari bekerja di sana. Dari sebelum berangkat dari kantor tadi saya sudah nggak enak hati, jangan-jangan ketemu adik saya. Dan betul ketemu. Makan siang saya tadi berasa hambar, pak.”

Mas Suryat mencoba menyelami suasana hati Tulegi dan mencoba menempatkan posisinya di tempat Tulegi.

“Ya, aku bisa memahami perasaanmu. Tapi pesanku coba nanti malam kamu bicara dengan adikmu itu dan tanyakan bagaimana perasaannya ketika ia tadi melayanimu sebagai pelanggan rumah makan tempat ia bekerja.”

“Baik, pak.”

Dan Mas Suryat tidak sabar menunggu hari esok untuk segera mendengarkan tuturan Tulegi setelah berbicara dengan adik perempuannya.