Sanding dua budaya

Hari ini saya menghadiri dua undangan dari perusahaan Jepang. Acara pabrik kesatu dilakukan pada pagi hari bertajuk Opening Ceremony, sedangkan acara pabrik kedua dilaksanakan selepas shalat Jumat bertajuk Syukuran Pembukaan Pabrik. Memang sudah jamak dilakukan oleh perusahaan asing jika membuka pabrik di Indonesia mereka mengikuti kearifan pepatah kuno negeri ini: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Termasuk dalam acara pembukaan pabrik baru.

Pada pabrik kesatu, tuan rumah dan tetamu berbaju batik. Pada acara pembukaannya disajikan tarian khas Sunda sebagai ucapan wilujeng sumping bagi para tetamu yang diundang. Tiga penari cantik dengan senyuman tak lepas dari raut mukanya itu melenggak-lenggok di atas panggung. Nanti pada saat pemotongan rangkaian bunga melati, ketiga penari tersebut akan hadir kembali, salah satunya membawa baki sebagai tempat gunting yang diperuntukkan untuk memotong rangkaian melati.

Setelah pemotongan rangkaian melati, ada seseorang yang membawa sebuah boneka ke atas panggung. Boneka tersebut hanya berujud kepala saja, tanpa badan. Kalau nggak salah dengar, nama boneka tersebut adalah Boneka Daruma, sebuah simbol pantang menyerah. Jika diamati, boneka tersebut tak memiliki mata/bagian mata dibiarkan kosong berwarna putih. Sacho/pimpinan pabrik mempunyai satu harapan, pada tahun pertama target produksi harus tercapai sekian persen. Maka, ia pun segera mewarnai mata sebelah kanan Boneka Daruma dengan spidol hitam (memberikan bulatan hitam/bagian hitam pada mata), sementara mata sebelah kiri dibiarkan tetap kosong. Nanti, di tahun depan, jika target sekian persen tadi tercapai, ia akan memberikan bulatan hitam pada mata sebelah kiri Boneka Daruma. Tradisi Jepang seperti ini baru pertama kali saya saksikan.

Pada pabrik kedua, seperti dibilang dimuka bertajuk Syukuran Pembukaan Pabrik. Acaranya sangat Indonesia. Pabrik yang jumlah karyawannya baru empat orang itu, menggelar acara pengajian bersama anak-anak yatim. Dalam pertemuan dengan saya sebelumnya, Sacho pabrik itu memang ingin mengundang anak-anak yatim dalam acara syukuran, berdoa dengan cara agama mayoritas di mana pabriknya beroperasi.

Acara diawali dengan pidato ucapan selamat datang oleh Sacho dalam bahasa Indonesia (ia membaca teks yang disiapkan oleh stafnya), meskipun ucapannya terbata-bata kami paham apa yang ia sampaikan. O, iya kami duduk lesehan, berbaur dengan anak-anak yatim dan para pengasuhnya. Prosesi pengajian menggunakan aturan SNI: kirim hadiah Fatihah kepada para moyang yang telah tiada, baca qulhu dst, baca Yasin, dan ditutup dengan doa.

Untuk menghibur anak-anak yatim, teman Sacho yang pandai bermain gitar mengajak anak-anak bernyanyi. Lagu-lagunya: Indonesia Pusaka, Satu Nusa Satu Bangsa, Caca Marica, apa lagi ya… saya lupa. Semua anak bernyanyi riang. Mereka bertambah senang ketika petikan gitar memainkan lagu Doraemon. Dengan kompak mereka berteriak di tengah lagu: baling-baling bambu….

Lagu Jepang yang juga didendangkan adalah Kokoro No Tomo. Anak-anak sih diam, mungkin nggak mudeng, tapi kami-kami para generasi jadul bernyanyi bersama. Lagu yang dipopulerkan oleh Mayumi Itsuwa tahun 1982 itu seperti mengajak bernostalgia. Acara nyanyi-nyanyi diakhiri dengan lagu Sayonara.

Rangkaian acara ditutup dengan pemberian bingkisan kepada anak-anak yatim.