Ada pembaca yang protes dengan artikel sekuel Banowati Memilih Setia. Gara-gara Ki Dalang menutupnya dengan kata Tancep Kayon pada seri ketiga.
“Nggak hanya sampai di situ Ki Dalang, kenapa musti ditamatkan. Sampeyan nggak konsisten dengan kisah Banowati-Arjuna lainnya, seperti dalam Perselingkuhan Abadi Banowati-Arjuna. Bukankah artinya Banowati itu tidak setia kepada Duryodana, Ki?”
“Xixixi….” Sudah lama Ki Dalang nggak tertawa macam ini. “Terus, maksudmu aku harus melanjutkan ke seri ke empat dan seterusnya, gitu?”
“Pokoknya kudu dituntaskan. Biar nggak menyesatkan bagi pembaca yang nggak paham cerita wayang.”
“O…o… ntar dulu. Aku mengisahkan wayang pakai gagrak suka-suka, keluar pakem dari kisah Mahabharata atawa Ramayana. Aku cuma ambil benang merahnya.”
“Tapi Ki Dalang tahu kan, kalau sesungguhnya Banowati itu tidak setia selamanya?”
“Ya iya lah… Kalaupun aku bikin cerita lagi judulnya bukan Banowati Memilih Setia jilid 4, namun Ternyata Banowati Betul-betul Tidak Setia. Puas?”
“Bisa aja Sampeyan ini, Ki. Bisa sedikit dikasih bocoran nggak?”
“Sebetulnya, perselingkuhan Arjuna dan Banowati itu nggak rapat-rapat amat. Soalnya ada satu tokoh yang sering mergoki mereka, yakni Aswatama. Ia ini anaknya Drona.”
“Mergoki pripun, Ki?”
“Diam-diam Aswatama itu kan naksir berat kepada Banowati, tapi nggak berani mengungkapkan isi hatinya. Kok ndilalah, setiap kali Banowati membuka baju dan kutangnya di hadapan Arjuna, Aswatama ini mergoki, tak tanggung-tanggung acara intip-mengintip itu dilanjutkan Aswatama hingga tubuh Banowati dan Arjuna lunglai setelah bertempur habis-habisan.”
“Wah… kasihan betul Aswatama. Hatinya pasti remuk redam terbakar cemburu.”
“Iya. Tapi Aswatama nggak bisa berbuat banyak, wong ia takut sama Arjuna. Kalah sakti. Aswatama tak kurang akal, ia melaporkan perilaku Banowati dan Arjuna itu kepada Duryodana, Raja Hastina yang sangat ia hormati. Eh, kok laporan itu nggak digubris sama sekali. Duryodana nggak percaya.”
“Aman dong kisah cinta Banowati dan Arjuna, Ki?”
“Betul. Bahkan sampai matinya pun Duryodana tahunya Banowati istri yang setia.”
“Aswatama gigit jari dong, Ki?”
“Begini. Ketika Aswatama tahu Duryodana tewas dalam peperangan di Padang Kurusetra, ia semakin dendam kepada Pandawa. Kesumatnya makin menjadi-jadi, setelah ia tahu Banowati menyeberang ke kubu Pandawa, bahkan akhirnya menjadi istri Arjuna.”
“Aswatama, kamu yang sabar ya…!”
“Pandawa melakukan pindahan dari Amarta ke Hastinapura. Suatu malam, hujan sedang deras-derasnya. Aswatama menyusup ke perkemahan Pandawa. Situasi yang sangat menguntungkan baginya. Ia ingin membantai seluruh anggota Pandawa, tak laki-laki tak perempuan. Ia masuki setiap tenda dan ia tembakan pistol yang dilengkapi dengan peredam ke dada atawa kepala orang yang sedang tidur di sana. Tenang, tanpa ada keributan. Pada sebuah tenda yang lain, seorang perempuan masih terjaga. Ia menyadari ada penyusup yang masuk. Ia keluar dari kemah dan berlari mencari perlindungan. Hujan tak menghalangi niatnya. Aswatama terkejut. Secara refleks jemarinya memantik pelatuk pistol dan peluru tajam terlontar ke punggung perempuan itu. Bless!!! Peluru itu tembus ke dada perempuan itu.”
“Perempuan itu siapa, Ki?”
“Mata Aswatama terbelalak setelah ia sadari siapa yang baru saja dibunuhnya.”
“Banowati, kah?”
“Betul. Tangan Aswatama gemetar. Ia telah membunuh perempuan yang sangat ia cintai. Ia peluk tubuh Banowati yang telah menjadi mayat itu. Tanpa ia sadari air mata meleleh dari kedua matanya. Itulah pelukan Aswatama kepada Banowati untuk yang pertama kali sekaligus terakhirnya.”
“Terus…terus…..”
“Sudah kadung kalap, ia melanjutkan pembantaian…. Sudah ah… aku capek… kapan-kapan dilanjutkan lagi ya… !”
Ki Dalang kabur.