Sabar tanpa mengeluh

Gadis muda itu selalu menyaksikan seorang ibu setengah baya shalat dhuha di masjid dekat kampusnya. Seorang ibu yang manis dan cerah wajahnya. Pagi itu, sebelum masuk kelas ia sempatkan menyapa ibu setengah baya.

“Ibu yang baik. Saban pagi saya melihat ibu shalat dhuha di masjid ini dan saya lihat wajah ibu selalu cerah seakan membawa banyak harapan di hari ini. Berilah saya ilmu, ibu. Hari-hari saya selalu membuat saya tertekan. Saya ingin mempunyai rasa optimis seperti itu.”

“Nak, maukah engkau mendengar cerita tentang derita yang bertubi-tubi yang baru saja aku alami?”

Gadis muda itu menatap wajah ibu. Ia tak mengira, di balik wajah cerah si ibu ternyata ia menyimpan duka mendalam. Lalu, ibu itu pun menceritakan deritanya.

~oOo~

Aku punya 3 anak. Pada hari raya kemarin, suamiku diminta untuk menyembelih hewan kurban. Anak keduaku takjub menyaksikan bagaimana ayahnya menyembelih hewan kurban, lalu ia pulang menemui adiknya yang masih berumur 2 tahun.

“Dik, maukah kamu aku kasih tahu bagaimana ayah kita menyembelih seekor domba?” Ia bertanya kepada adiknya, sambil menggandeng tangan adiknya menuju dapur untuk mengambil sebuah pisau. Ia menyuruh adiknya berbaring, dan dengan pisaunya itu ia mulai menggoreskannya ke leher adiknya. Darah mengalir dari leher adiknya dan tentu saja, adiknya menangis meraung-raung. Melihat itu semua, anak keduaku itu berlari entah ke mana karena takut aku marahi.

Aku segera menolong anak bungsuku yang terluka dan membaringkannya di tempat tidurnya. Sampai siang, anak keduaku belum juga kelihatan di rumah. Aku pergi menemui suamiku memberi tahu kalau anak kedua kami meninggalkan rumah dan aku minta kepadanya untuk mencari anak kami.

Kemudian aku kembali ke rumah, memanaskan air untuk mandi anak bungsuku. Ketika aku baru saja mengangkat air yang mendidih itu dan meletakkan di dekat pintu kamar mandi, datang seorang tetangga yang memberitahukan kalau suamiku tertabrak mobil. Aku panik. Aku segera mengikuti tetanggaku itu ke tempat di mana suamiku kecelakaan. Aku menjerit histeris, suamiku luka parah dan telah meninggal. Orang-orang segera membawa jasad suami ke rumah. Aku mengikutinya dari belakang.

Ketika orang-orang memasuki rumahku, terjadi kegaduhan. Mereka menemukan anak bungsuku tewas dengan tubuh melepuh di samping pintu kamar mandi. O, rupanya anakku tersiram air mendidih yang aku tinggalkan begitu saja ketika mendapatkan kabar suamiku mengalami kecelakaan.

Kesedihanku tak berhenti sampai di situ. Saat para tetangga sibuk mengurus jenazah suami dan anak bungsunya, mereka diributkan kedatangan sekelompok orang yang membopong sesosok tubuh yang banyak lukanya. Dialah anak keduaku. Mereka menemukan jasad anakku di bawah tebing luar desa. Mungkin anak keduaku tewas karena terpeleset dari atas tebing lalu terjatuh dan tewas.

Habis sudah air mataku menangisi kepergian mereka. Selesai pemakaman, aku baru teringat anak sulungku yang sedang kuliah di kota lain, belum aku beri tahu berita duka itu. Maka, aku pun segera meneleponnya dan mengabarkan keadaan di rumah. Di tengah pembicaraan, aku mendengar suaranya seperti orang tercekik. Belakangan aku tahu, ia mengidap penyakit jantung dan meninggal saat mendengar kabar yang sangat menyedihkan dan mengejutkan dariku.

“Itulah derita yang aku alami, Nak.”

“Tapi…. kenapa tak saya lihat mendung di wajah ibu?”

“Masa mendung itu telah berlalu. Toh, kalau aku mengeluh dan bersedih tak ada gunanya. Lagi pula, orang-orang yang aku kasihi juga tak akan kembali kepadaku, bukan? Dengan mendekatkan diri kepada Gusti Allah, hatiku menjadi sangat tenang dan mungkin jadi memancar di wajahku yang kamu bilang selalu ceria ini.”

Ternyata, duka dan perkara yang dialami oleh gadis muda itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan duka ibu setengah baya.