Rintihan Kuntilanak

Malam sunyi kusendiri
Duduk sepi di atas pohon
Kubiarkan rambutku terurai

Tanpa kaki kelelawar
Anjing dan bulan purnama
Kumenanti kekasihku
Yang belum mati

Kapan mati kekasihku
Kumenanti kau di sini
Ayo mati bunuh diri
Biar kita jumpa lagi
Seperti dulu

Mana mungkin ku kembali
Hidup lagi seperti dulu
Kecuali engkau mati
Mohon mengerti

Bait-bait di atas bukan sajak melainkan syair sebuah lagu yang berjudul Rintihan Kuntilanak. Lagu ini saya temukan setelah mendengarkan acara Pagi-Pagi I-Radio Jakarta, yang kebetulan saat itu mengenang Suzana – Bintang Film Horor yang di hari kemarinnya meninggal dunia (15 Oktober 2008). Lagu yang serem, mengharukan dan sekaligus bernada humor.

Di film Suzana, ada kuntilanak pesan sate tiga puluh tusuk dan langsung ditelan. Tetapi saya ingin ceritakan tentang penjual nasi goreng yang takut kuntilanak. Suatu ketika ada penjual nasi goreng lewat depan rumah.  Tumben, yang jualan dua orang. Maksudnya, satu gerobak didorong oleh dua orang. Pasangan itu bukan chef dan asistennya atawa yang satunya magang – belajar berjualan nasi goreng, tetapi orang yang satunya tugasnya menemani. Ya, menemani penjualnya.

Apa pasal? Penjualnya takut kalau harus berjalan sendirian di waktu malam. Ketika ia meracik nasgor  saya bertanya perihal keberadaan temannya itu, lalu ia bercerita kenapa membawa teman. Minggu sebelumnya, ketika pulang jualan melewati jembatan ujung perumahan, di tengah jembatan ia “dicegat” oleh sebuah penampakan perempuan cantik berwajah putih yang ia sebut sebagai kuntilanak. Ia sangat ketakutan. Katanya, tidak hanya dia yang melihat penampakan itu, ternyata teman-temannya yang lain pernah punya pengalaman yang sama.

Sebetulnya adanya kuntilanak di jembatan ujung perumahan sudah terdengar warga sejak sepuluh tahun lalu, ketika awal-awal saya tinggal di sini. Memang sih, di jembatan itu suasananya agak “gimana gitu”. Kiri-kanannya rimbun oleh pohon bambu, lalu ada pohon randu – konon si kunti senang tinggal di pohon ini, tidak ada lampu, sementara di kebun kosongnya ada rumah yang lama ditinggal penghuninya semenjak salah satu penghuni rumah melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri.

Entah kenapa, setiap melewati jembatan itu saya selalu iseng membunyikan klakson kendaraan saya, tidak siang, tidak malam. Hanya sebagai tanda permisi saja. Mungkin karena selalu permisi, si kunti enggan menampakkan wujudnya kepada saya.

Bagi penjual nasi goreng, tanda permisinya dengan  memukul wajannya “tek..tek..tek..” sambil berucap,  “permisi neng, numpang lewat!”