Rindu Partai Keadilan tanpa Sejahtera

Walau bukan anggota atau pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), saya memiliki ikatan batin dengan partai ini. Sejumlah pendiri partai ini (awalnya Partai Keadilan/PK) adalah guru-guru saya di Ma’had Al Ishlah (Perguruan Islam), Pondok Aren, Tangerang, pada era 1990-an. Sebuah ma’had kecil dengan belasan murid saja. Saya bangga, guru-guru saya yang dulu mengajar tanpa pamrih dan sederhana kini masuk jajaran elite politik di negeri ini.

Sejak awal PK dideklarasikan, saya menyambut dengan antusias karena saya mengenal orang-orang di belakang partai ini. Saya ikut mempromosikan partai ini. Sejumlah pertanyaan dilontarkan teman dan kerabat saya. Partai apa ini? Siapa tokohnya? Dari mana dananya?

Agak sulit menjawab pertanyaan mereka. Maklum, secara umum, saat itu partai Islam selalu identik dengan ormas Islam. Sementara PK dibangun para aktivis yang berdakwah nyaris tanpa bendera ormas apa pun. Tokoh-tokohnya hanya dikenal di kalangan lingkungan aktivis Islam dan simpatisannya.

Tokoh seperti Anis Matta dikenal sebagai ustad muda yang pintar berdakwah dan piawai menulis masalah-masalah keluarga. Ustad Anis adalah penulis Kolom Ayah di majalah Ummi selama beberapa tahun. Salim Segaf Al Jufri dikenal sebagai ulama pendidik bergelar doktor. Sama dengan Hidayat Nur Wahid.

Walau tak paham betul tentang sumber dana PK, saya pernah memiliki kartu sumbangan untuk partai ini. Sejumlah simpatisan dengan sukarela menyumbang harta, tenaga, dan pikiran demi perjuangan suci partai ini.

Saya pernah berkunjung ke salah satu kantor partai ini di rumah sederhana milik simpatisan. Mobil sederhana partai itu juga sumbangan simpatisan. Bahkan, kakak kelas saya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) rela melepas status PNS demi menjadi pengurus PK. Padahal, saat itu banyak orang yang memandang sebelah mata partai ini. Mereka yakin, lewat PK, idealisme mereka dapat diperjuangkan.

Dalam Pemilu 1999, PK tertinggal jika dibandingkan dengan partai lain yang berbasis massa Islam, seperti PPP, PKB, PAN, bahkan PBB. Kemudian, saat Presiden PK Nur Mahmudi Ismail menjadi menteri kehutanan kabinet Gus Dur, gebrakan terjadi. Nur Mahmudi yang didampingi Sekjen Kementerian Kehutanan Soeripto berhasil membongkar sejumlah kasus korupsi besar. Salah satunya, kasus dana reboisasi yang memenjarakan Bob Hasan, orang dekat mantan Presiden Soeharto.

Dalam Pemilu 2004, PK yang berubah nama menjadi PKS melejit. Banyak yang jatuh simpati karena PKS dinilai bersih dan peduli. Keberhasilan PKS bertambah karena masuk koalisi pengĀ­usung SBY-JK yang menang Pilpres 2004. Kursi-kursi empuk kekuasaan pun mulai ditempati para kader partai ini. Pemilu 2009, PKS juga sukses.

Kader-kader PKS tak perlu lagi berkantor di gang. Tak perlu memakai mobil pinjaman. Guru-guru saya di ma’had pun tampil di televisi berdebat dengan politisi kawakan dari partai lain. Dengan gaya dan penampilan yang sebanding. Guru saya di ma’had memasang ribuan baliho karena ikut bertarung dalam pilkada. Partai Keadilan Sejahtera pun menjelma menjadi partai yang benar-benar sejahtera.

Seiring dengan banyaknya kekuasaan yang direngkuh kader PKS, bisik-bisik negatif bermunculan. Saat berkumpul dengan teman-teman pengusaha atau pimpinan proyek, ada keluhan para kader PKS berani meminta “imbalan” untuk membantu memenangkan proyek atau memuluskan perizinan.

Saya tak percaya. Saya membela partai ini. Saya membeberkan sejumlah fakta tentang kader PKS yang tak silau oleh gemerlap dunia. Namun, terkuaknya satu per satu fakta tentang kasus suap daging sapi yang menyeret mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) membuat saya mulai ragu. Penyitaan sejumlah mobil mewah dan pengenaan pasal pencucian uang terhadap LHI membuat saya berpikir, jangan-jangan kader PKS mulai tak mampu melawan godaan harta dan kekuasaan.

Jalan berliku juga pernah saya alami. Pernah mendaki dengan idealisme yang tertanam dari kampus. Pernah di atas dan akhirnya terjungkal dalam kasus mafia pajak. Saya pun masuk penjara karenanya.

Peristiwa yang saya alami, dan guncangan pada PKS, membuat saya rindu pada masa lalu. Masa ketika saya dan guru-guru Ma’had Al Ishlah duduk bersama dalam ruang kelas sederhana dengan penerangan ala kadarnya. Berdiskusi tentang banyak hal yang terjadi di negeri ini. Tanpa terlintas kelak kami menjadi apa. Saya juga rindu kala PKS masih menjadi Partai Keadilan tanpa kata sejahtera. Sebuah partai kecil dengan sedikit kekuasaan, dikenal bersih dan peduli, serta kesederhanaan hidup para tokohnya.

Note:
Ditulis oleh Heri Prabowo – mantan pegawai pajak, Alumnus STAN yang pernah terlibat mafia pajak, Jawa Pos edisi 13 Mei 2013 dan Pasundan Ekspress (Jawa Pos Group) edisi 14 Mei 2013