Pagi itu, suasana di alun-alun Kerajaan Pancala sudah mulai riuh rendah. Umbul-umbul dan aneka bunga menghiasi setiap sudut lapangan. Rakyat pun mulai berdatangan untuk menyaksikan hajat besar yang dibuat oleh Raja Pancala. Hari itu Drupada – Raja Pancala tengah mencari menantu. Ia sedang mencari suami untuk anak perempuannya nan jelita, Drupadi.
Sengaja ia menyebarkan undangan ke negeri-negeri tetangga, dan hanya seorang ksatria tangguh yang ia cari sebagai calon menantu. Ksatria yang kelak dapat melindungi Drupadi. Ada belasan ksatria yang mendaftarkan diri mengikuti sayembara yang diadakan oleh Raja Pancala. Sayembara? Iya.
Dalam hati kecilnya, Drupadi tidak suka dengan cara yang dilakukan ayahnya dalam mencari menantu. Sungguh ia tak rela, sebagai obyek yang disayembarakan. Namun ia tak punya pilihan selain manut kepada keinginan ayahnya.
Sayembaranya sederhana saja. Ada sebuah busur dan anak panah super besar dan berat diletakkan pada sebuah panggung. Ksatria yang bisa mengangkat busur kemudian melepaskan anak panah tepat di tengah sasaran yang ditentukan, ksatria tersebut yang akan ditetapkan sebagai pemenangnya.
Di antara kerumunan penonton, ada Pandawa yang tengah menjalani masa penyamaran. Mereka hadir secara lengkap: Yudistira, Bima, Arjuna dan si kembar Nakula-Sadewa, didampingi oleh Kresna. Sementara di sudut yang lain, tampak Basusena Karna. Ia berdiri tepat di depan panggung kehormatan.
Gong dipukul tiga kali telah terdengar, tanda dimulainya sayembara. Raja Pancala ke atas panggung diiringi oleh putra-putrinya: Destradyumna, Drupadi dan Srikandi. Semua mata terkesima menyaksikan kecantikan Drupadi yang sempurna. Ketika mata Drupadi menyapu orang-orang di hadapannya, ia beradu pandang dengan Karna. Beberapa detik ia tak mengalihkan pandangan, demikian pula Karna.
Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama.
Raja Drupada sendiri yang menyampaikan aturan main sayembara. Tak lama kemudian, satu per satu ksatria yang mewakili kerajaan masing-masing maju ke depan untuk mengikuti sayembara. Dan mereka gagal semua. Ada yang tak mampu mengangkat busur, atau sudah bisa mengangkat busur tetapi tidak mampu meletakkan anak panah pada tali busur atau gagal menancapkan anak panah pada sasaran yang tepat.
Raja Drupada sengaja membuat sulit pada ksatria. Papan target terbuat dari emas, yang akan menyilaukan mata di saat terik matahari. Apalagi papan target selalu berputar terkena angin. Justru kesulitan yang ia ciptakan itulah, membuatnya gelisah. Sebab sudah sekian banyak ksatria dan tak ada satupun yang berhasil lolos dalam sayembaranya.
Syahdan, di saat kegalauan hati Raja Drupada sedang di puncaknya, Karna naik ke atas panggung. Drupadi terkesiap. Ia berharap lelaki yang baru saja mencuri hatinya itu dapat mengangkat busur dan melesatkan anak panah tepat ke sasarannya.
Suasana tegang. Ribuan pasang mata menatap Karna yang berhasil mengangkat busur dan meletakkan anak panah yang siap dilontarkan ke arah sasaran. Tass…. Anak panah tepat mengenai sasaran.
Wajah Drupadi berbinar. Tanpa sadar ia berdiri dan bertepuk tangan untuk lelaki tampan yang mulai singgah di hatinya. Sorak-sorai membahana di alun-alun Kerajaan Pancala. Mereka mengelu-elukan Karna.
Sayangnya, pemuda itu bukan ksatria. Ia hanya anak seorang kusir kereta. Tak pantas ia mengikuti sayembara ini. Gumam Destradyumna yang tak lain kakak Drupadi. Mendengar gumaman kakaknya itu, perasaan Drupadi bergolak. Ah, ternyata ia hanya seorang anak kusir kereta! Drupadi pun memalingkan muka dari Karna. Secepat itu ia berpaling dari cinta kilatnya.
Terjadi perdebatan di keluarga inti Raja Drupada. Destradyumna memberikan pendapat kepada ayahnya, kalau Karna tak berhak mengikuti sayembara, dan Drupada mengiyakan. Drupadi menangis membenci dirinya sendiri dan berlari ke dalam istana.
Raja Drupada naik ke panggung dan berteriak lantang, “Kemenangan Karna aku batalkan, sebab ia bukan ksatria. Keputusanku tidak bisa diganggu gugat!”
Hening. Tak ada lagi suara yang mengelu-elukan Karna. Terlihat Karna berdiri mematung di dekat panggung. Ia terluka hatinya. Perlahan ia meninggalkan arena, meninggalkan kerumunan.
Para Pandawa mengamati peristiwa tersebut dari kejauhan, ikut larut dalam drama yang telah melukai hati Karna.
“Arjuna, kini saatnya kamu maju ke tengah arena!” ujar Kresna memberikan perintah kepada Arjuna.
Suasana alun-alun kembali heboh, ketika Arjuna yang berpakaian brahmana naik ke panggung. Raja Drupada kembali sumringah, masih ada orang yang mengikuti sayembara. Segera saja ia memanggil Drupadi untuk bersama-sama menyaksikan ketangkasan Arjuna.
Pemuda dengan pakaian serba putih itu memohon izin kepada Raja Drupada untuk bisa mengikuti sayembara. Raja Drupada mengizinkan brahmana muda untuk ikut memanah. Ia pun segera berjalan ke arah busur ditempatkan.
Sebelum ia mengangkat busur, ia berpaling kepada Drestadyumna dan bertanya, “Bolehkah seorang brahmana mengangkat panah ini?”
“Brahmana muda, adikku bersedia disunting oleh pemenang sayembara ini. Siapa pun ia, jika berasal dari kelahiran keluarga baik-baik dan sederajat dengan kami. Apa yang sudah terucap oleh Raja Pancala tak akan ditarik kembali. Silakan mencoba, wahai brahmana muda,” jawab Drestadyumna.
Suasana menjadi hening kembali. Bahkan lalat yang hendak kawin pun membatalkan hajatnya, saking tintrimnya suasana saat itu. Arjuna mengangkat busur yang besar dan berat itu, kemudian ia pasangkan anak panah pada tali busur. Ia mulai membentangkan busur dan secepat kilat lima anak panah melesat tepat mengenai sasaran.
Sorak-sorai kembali membahana di alun-alun Kerajaan Pancala. Kali ini mereka mengelu-elukan brahmana muda yang tak lain adalah Arjuna. Drupadi tersenyum, setidaknya ia memperoleh calon suami yang sederajat dan tampangnya tidak mengecewakan hatinya. Raja Drupada menyerahkan Drupadi kepada Arjuna
***
Kunti sedang sibuk di dapur. Ibu para Pandawa tengah mempersiapkan makan malam bagi kelima putranya yang kemarin pamit pergi mengikuti sayembara di Kerajaan Pancala.
“Ibu, kami datang!” kata Yudistira sambil mengetuk pintu.
“Saya memenangkan sayembara, ibu,” sahut Arjuna dengan gembira.
Kunti bahagia anak-anaknya telah tiba dan mengabarkan kalau mereka telah memenangkan sayembara Raja Drupda. Ia bergegas menuju pintu, sambil berucap, “Sebentar, ibu segera membukakan pintu untuk kalian.”
Yudistira dan Arjuna telah masuk rumah.
“Di mana Bima dan adik-adik kalian?” tanya Kunti.
Belum sempat mereka menjawab pertanyaan, Kunti berkata, ”Jun, sejak kecil sampai sekarang kalian kan selalu bersama. Kamu jangan egois, berbagilah hadiah dari Raja Drupada dengan saudara-saudaramu.”
Pada saat yang bersamaan, Bima, Nakula, Sadewa dan Drupadi masuk rumah. Para Pandawa dan Drupadi sangat jelas mendengar perkataan Kunti.
“Tapi ibu, hadiah Raja Drupada bukan berujud barang, tetapi putri Pancala. Drupadi namanya,” jawab Arjuna sambil menunjuk Drupadi ke arah ibunya.
“Jadikan Drupadi istri kalian secara bergiliran!” titah Kunti selanjutnya. Menurut adat dan keyakinan mereka, titah seorang ibu tiada dapat dibantah.
Drupadi terluka hatinya, sebagai perempuan ia merasa dilecehkan. Ibu macam apa yang memerintahkan kepada anak-anaknya untuk berbagi istri? Demikian kata hatinya.
Inikah balasan akibat aku menolak Basusena Karna? Duka Drupadi tidak berhenti di sini. Kelak, ia akan dipertaruhkan oleh Yudistira dalam judi permainan dadu antara Pandawa dengan Kurawa di Balairung Hastinapura, bahkan ia dipermalukan di depan umum ketika Dursasana melucuti pakaiannya.
Sepanjang hayatnya, Drupadi merindukan sekaligus sangat membenci Karna yang ternyata anak kandung Kunti, sulung dari Pandawa.