Pecinta Allah yang sejati

Pengajian bakda isya malam Rebo Kliwonan secara rutin diisi oleh Kyai Budi, seorang alim yang umurnya unda-undi dengan usiaku. Kedalaman ilmunya jeru banget. Ilmu yang disampaikan mudah dicerna, apalagi bagi manusia semacam diriku yang punya tingkat kemudengan di bawah rata-rata. Makanya, aku tak pernah absen hadir di pengajiannya.

“Ketika Allah menciptakan umat manusia, semuanya mengatakan mencintai-Nya. Maka Dia kemudian menciptakan kesenangan-kesenangan duniawi, dan sembilan per sepuluh dari mereka segera meninggalkan-Nya, sehingga yang tersisa hanya sepersepuluhnya,” ucap Kyai Budi tanpa jeda.

Aku mulai mencerna kalimat tersebut. Berapa orang yang tersisa ya? Belum kelar menghitung, terdengar kalimat Kyai Budi selanjutnya.

“Kemudian Allah menciptakan kemegahan dan kenikmatan surga, dan sembilan persepuluh dari sepersepuluh yang tersisa itu meninggalkan-Nya,” lanjut Kyai Budi setengah tersenyum.

“Lalu Allah menimpakan bencana dan kesedihan kepada sepersepuluh yang tersisa itu. Dan sembilan persepuluhnya dari sepersepuluh yang tersisa itu juga melarikan diri dari-Nya. Semakin sedikit ya?” pancing Kyai Budi. Masih dengan senyum khasnya.

Beberapa jamaah bergumam, ada yang cuma tersenyum atau sekedar nyengir seperti diriku. Dalam hati aku bertanya, apakah jumlah yang sepersepuluh itu masih terpecah lagi?

Kyai Budi melanjutkan uraiannya, “Manusia-manusia yang menjauh dari-Nya itu terombang-ambing antara kesenangan, harapan, dan putus asa. Tapi, mereka yang tetap bertahan, yakni sepersepuluh dari sepersepuluh dari sepersepuluh yang tersisa adalah manusia-manusia pilihan.”

Aku memberanikan diri bertanya, “Siapa manusia-manusia pilihan itu, Kyai?”

Kyai Budi menyapukan pandangan kepada segenap jamaah yang hadir. Kami menunggu jawaban yang terucap dari mulutnya.

“Mereka itu tidak menginginkan dunia, tidak mengejar surga dan tidak melarikan diri dari derita. Hanya Allah semata yang mereka inginkan, dan walaupun menerima penderitaan dan cobaan yang bisa membuat gunung-gunung ketakutan, mereka tidak meninggalkan cinta dan kepasrahan kepada-Nya!” papar Kyai Budi sejurus kemudian.

“Mereka adalah hamba Allah yang sejati, pecinta Allah yang sesungguhnya,” ujar Kyai Budi.

“Apa yang bisa kami kerjakan untuk menjadi hamba Allah yang sejati, Kyai?” tanya mas Tejo.

Kyai Budi mengambil nafas kemudian menjawab. “Kita mulai dari diri sendiri. Hamba yang baik ndak sibuk dengan sesuatu yang tidak berguna. Contohnya, mencari-cari aib orang lain atau membicarakan keburukan orang lain. Terlebih, merasa dirinya lebih baik dan memandang orang lain terlalu buruk. Hal itu jauh dari diri seorang hamba yang baik.”

“Hamba yang baik adalah hamba yang tidak pernah membicarakan keburukan orang lain. Ia oleh Allah disibukkan dengan aib-aib pribadinya. Ia disibukkan dengan berintrospeksi diri. Mencari-cari kekurangan diri sendiri untuk kemudian ia perbaiki agar kelak ia benar-benar menjadi hamba yang baik, hamba yang sejati,” imbuhnya.

Aku ingin masuk kelompok manusia dengan kategori pecinta Allah sejati.