Resign

Rest area KM 57 Tol Jakarta-Cikampek menjadi meeting point kami, sekaligus janjian jumatan bersama di sana. Kami memilih rumah makan masakan Sunda, sebuah tempat yang nyaman untuk mengobrol sambil menunggu masakan tersaji di atas meja. Lelaki tampan berhidung mancung yang duduk di hadapan saya sejak kemarin mengirimkan pesan pendek ingin bertemu dengan saya untuk tukar-pendapat.

“Mas Kyaine, seperti yang pernah aku sampaikan dalam pertemuan terakhir kita dulu rasanya aku semakin mantap untuk resign,” lelaki yang umurnya lebih muda setahun daripada saya itu membukapembicaraan.

Saya tak segera menyahut. Ia pernah bercerita kepada saya, beberapa bulan yang lalu oleh manajernya ia dipindahkan ke sebuah seksi yang sama sekali baru baginya. Ia selama hampir dua puluh dua tahun bekerja di bidang yang sesuai dengan disiplin ilmunya, tiba-tiba ia dipanggil manajernya untuk pindah ke bagian lain – di mana pimpinan bagian itu sedang kosong – sebuah jenis pekerjaan yang sama sekali baru baginya, yakni bagian rumah tangga perusahaan.

Waktu itu saya bilang dicoba saja dulu, toh lama-lama akan enjoy juga. Namun, rupanya dugaan saya meleset setidaknya ketika saya mendengar dari mulutnya kalau ia mantapuntuk resign.

“Memang tidak betah di bagian sekarang apa memang sudah ada pekerjaan di tempat lain yang lain?” tanya saya.

“Untuk apa saya lanjutkan pekerjaan yang sekarang kalau saya merasa tak sanggup mengerjakannya, Mas?”ia malah balik bertanya, tidak menjawab pertanyaan saya.

Ia pernah bercerita, sebelum ia dipindah ke bagian rumah tangga ia tak punya anak buah seorang pun. Kini, anak buahnya banyak sekali.

“Bukankah mayoritas pekerjaanmu sudah ditangani dengan baik oleh anak buahmu, hingga kamu tinggal mengontrolnya saja? Nikmati sajalah. Toh kalau bicara karier, posisimu cukup bagus. Jalani saja hingga saat pensiun nanti,” kata saya sambil menyeruput teh tawar.

“Ah, waktu pensiun kan masih lama toh, Mas. Paling tidak sepuluh tahun lagi. O iya, cara mengajukan pensiun dini bagaimana ya?” kata lelaki yang mengenakan kopiah haji itu.

“Lah, perusahaanmu memberlakukan aturan pensiun dini nggak? Kalau nggak ada, ya paling-paling mengajukan surat pengunduran diri,” jawab saya.

“Kalau mengajukan resign dapat pesangon nggak, Mas? Ada aturannya nggak, Mas?” cecarnya.

Nekjika perusahaan berbaik hati kepadamu dan mengingat jasamu dalam dua puluh tahunan ini, ya mudah-mudahan saja kamu mendapatkan uang penghargaan. Berdoa sajalah,”  jawab saya.

Kok pesimis begitu?” tanyanya lagi.

Saya mengangkat bahu.

“O iya, melanjutkan rasa penasaranku. Ntar kalau kamu jadi resign, apakah memang sudah ada pekerjaan lain yang kamu peroleh? Setidaknya begini. Saban bulan kamu kan dapat gaji. Nah, jika kamu resign tapi belum punya pekerjaan lain, apa siap kamu dan keluargamu tidak mendapatkan penghasilan seperti biasanya? Atawa memang kamu punya cadangan tabungan setidaknya lima bulan gaji terakhirmu, sehingga kamu tak perlu terlalu kuatir jika dalam jeda waktu lima bulan kamu mendapatkan pekerjaan yang baru?” ujar saya sambil menuangkan karedok ke piring ke atas nasi.

“Belum ada dan rasanya aku hanya ingin keluar dari kebosanan kerja yang tak aku pahami dan tak kusukai,” matanya redup ketika melontarkan kalimat ini.

Saya segera membelokkan pembicaraan. Kami bercerita tentang kisah mudik lebaran. Ia yang tak punya kampung halaman untuk dimudiki, memanfaatkan waktu libur lebaran untuk menjelajah tlatah Bromo dan sekitarnya bersama keluarga besarnya.

Di halaman parkir saya menepuk punggungnya dan berpesan untuk menggiatkan shalat istikharah mencari jawaban atas kegalauan hatinya.