Diterungku

[1]

Di dalam terungku, lelaki berwajah lugu itu menyesali diri. Seandainya ia amanah, ia tak akan menghabiskan hari-harinya ditemani dinginnya lantai hotel prodeo. Ia ingat betul awal mula ia memberanikan diri menilap uang negara. Sedikit demi sedikit tak terasa, namun lama-lama mengasyikkan juga.

“Bukankah Mas sekarang berada di tempat basah? Apa nggak kasihan melihat istrimu tanpa perhiasan di leher dan tangannya? Apa kata tetangga, katanya istri seorang pejabat kenapa pakaiannya yang itu-itu saja?” rajuk istrinya suatu ketika.

“Aku sangat mencintaimu istriku sayang. Apa pun yang engkau pinta aku akan mengabulkannya, meski penjara menjadi taruhannya,” jawabnya sambil mendekap hangat tubuh istrinya.

[2]

Di mataku ia ayah yang sangat baik. Selain menjadi ayah, ia bisa menjadi kawan yang sangat menyenangkan. Ia akan meluangkan waktu bila hanya sekedar menemaniku mengerjakan PR sekolah.

Kini aku sangat malu dan membenci ayahku itu sejak ia sering muncul di televisi. Teman-temanku pun mulai menjauhiku sambil meneriakkan: “jangan dekat-dekat dengan anak seorang koruptor!”

[3]

Ia anak ibu yang sangat ibu kasihi. Ibu tahu betul sifat dan perangai anak ibu yang satu itu: alim dan banyak laku prihatin. Di sekolahnya pun ia selalu menjadi langganan juara kelas. Meski begitu ia tak tinggi hati. Banyak kawan datang ke rumah untuk belajar bersama.

Apa pun langkah yang akan diambilnya, ia selalu meminta restu ibu bahkan ketika ia sudah berkeluarga. Ibu sering membanggakan anak ibu ini kepada sanak saudara. Ia menjadi teladan bagi keluarga dan almamaternya.

Kemarin ibu seperti tersambar petir di siang bolong ketika ibu mendengar anak ibu itu ditangkap petugas anti-rasuah. Apa yang telah mampu mengubah sifat alim anak ibu itu?