Rempeyek mas Padiyo

Dua bulan lalu.

Resepsionis menelpon ke ekstensyen saya, memberitahukan kalau ada tamu yang ingin bertemu, namanya Supadiyo dari CV ANU. Karena nggak ada kegiatan yang penting dan mendesak, saya bilang ke resepsionis saya mau menerimanya meskipun tanpa ada perjanjian terlebih dahulu. Tamu saya menunggu di ruang rapat kecil.

“Bapak masih ingat saya?” katanya ramah, mengulurkan tangan. Kami bersalaman erat.

“Masih… masih… Piye kabarnya, mas Padiyo? Sekarang di mana?” tukas saya tak kalah ramah kepada lelaki berbaju batik biru itu.

Mas Padiyo bercerita, sudah hampir lima tahun ini menjadi kontraktor, meskipun kecil-kecilan. Ia datang menemui saya menitipkan company profile perusahaan komanditer miliknya, dan selembar kartu nama. Di sana tertulis: Supadiyo – Direktur Utama.

“Siapa tahu ada yang membutuhkan jasa saya, pak. Tolong nanti hubungi hape saya, nggih?” tutur mas Padiyo.

Inggih mas. Insya Allah,” jawab saya singkat.

Kemudian ia menceritakan perjalanan penghidupannya, lima belas tahunan ini.

~oOo~

Pada saat negeri ini dilanda krisis moneter, menjelang keruntuhan rezim Soeharto.

Proyek-proyek infrastruktur ditunda bahkan dihentikan sama sekali. Para kontraktor mengalami kerugian besar. Mereka ramai-ramai mem-PHK-kan para karyawannya. Salah satu kontraktor melakukan hal yang sama, yakni perusahaan kontraktor di mana Mas Padiyo bekerja sebagai salah satu tenaga administrasinya. Waktu itu saya sudah mengenal mas Padiyo.

Lama tak terdengar kabarnya, mas Padiyo datang ke rumah. Ia bercerita tak ada pekerjaan dan mencoba berwiraswasta dengan menawarkan rempeyek buatan istrinya dari teman ke teman yang dikenalnya.

Sikap saya waktu itu zakelijk, saya menjawab sedang tidak pengin makan peyek dan kalau pun membeli karena rasa iba kepadanya. Ketika mas Padiyo keluar pagar, saya kok menyesali sikap saya itu. Mestinya saya beli sebungkus, hitung-hitung membantunya. Rasa bersalah sempat menghantui saya beberapa pekan. Saya mencari tahu di mana alamat mas Padiyo. Nggak ada yang tahu.

Selanjutnya, nekjika saya pulang kantor dan mampir membeli lauk makan malam di sebuah warung kemudian saya melihat peyek di sana, saya akan membelinya, saya makan di sana sambil menunggu lauk diracik. Itulah cara saya melunasi rasa bersalah di masa lalu, karena siapa tahu peyek yang saya makan itu produksi mas Padiyo.

~oOo~

Minggu lalu.

Hape saya berdering, suara seorang kolega.

“Mas, punya kenalan kontraktor kecil nggak? Saya mau perbaiki rabat gudang yang retak,” pintanya.

“Ada…ada… ntar tak SMS nomornya. Namanya CV ANU!” tentu saja saya ingat mas Padiyo.

~oOo~

Saya dengar sudah tiga hari ini mas Padiyo sibuk mengawasi para tukangnya memperbaiki rabat gudang pabrik milik kolega saya yang menelpon minggu lalu.

Entah, inikah bentuk pelunasan rasa bersalah saya terhadap mas Padiyo.