Kyai SX4 dan pedagang jagung rebus

Nasihat bijak yang selalu saya ingat dan pahami adalah jangan menyesali terhadap harta yang hilang, karena ia dikembalikan kepada yang berhak memilikinya. Ikhlas, menjadi kata kuncinya.

Sabtu sore kemarin saya mesti menjemput anak wedok saya yang punya hajat masa akhir sekolah bersama teman-teman sekelasnya di sebuah studio-foto. Karena hujan cukup deras, saya pergi bersama Kyai SX4 secara anak wedok saya berdandan Arabian-dress. Begitu tema yang dipilih oleh panitia bagi kelasnya. Kelas lain katanya ada yang bertema Harry Potter, Koboi atawa yang lain.

Hujan deras menghalangi jarak pandang ke depan. Ketika saya belok kanan, dari arah berlawanan terlihat pedagang jagung rebus menggunakan gerobaknya ada persis di depan saya. Brakkk!!!

Gerobak terjungkal, jagung tumpah dari dandangnya dan bertebaran di jalan. Saya turun dari Kyai SX4, saya bantu si penjual jagung rebus membalikkan gerobaknya.

“Maaf… saya nggak lihat bapak. Tenang…. saya akan memarkir mobil dulu, semua kerugian bapak akan saya ganti,” kata saya kepada si penjual jagung rebus.

Lalu-lintas lumayan padat saat hujan seperti itu. Saya mencari posisi yang aman yang parkir. Dari jauh saya lihat beberapa orang membantu memasukkan jagung yang berceceran di jalanan ke dalam gerobak.

Gerobak telah dipinggirkan, tak ada kerumunan orang di TKP. Saya menarik si penjual jagung rebus di emperan toko.

“Sekali lagi saya minta maaf. Seperti yang saya bilang tadi, saya akan mengganti kerugian bapak. Berapa semua?”

Ia diam, matanya menatap ke arah gerobaknya.

“Baik, sekali jualan paling banyak bapak mendapatkan berapa?”

“Tiga ratus ribu.”

“Ya, saya akan ganti tiga ratus ribu.”

“Tapi, as rodanya patah!”

“Ya… sekalian dihitung saja pak. Berapa kira-kira biaya perbaikannya?”

Ia berpikir. Mungkin mereka-reka biaya yang mesti dikeluarkan.

“Waduh, nggak tahu berapa ya pak. Kayaknya sih parah!”

“Iya, berapa? Sebut saja…”

“Dua ratus ribu?”

Saya ambil uang di dompet yang pagi harinya saya isi dari ATM. Uang sepuluh lembar gambar Danau Beratan Bedugul saya berikan kepadanya. Ia terima uang itu tanpa menatap ke wajah saya, langsung dimasukkan ke saku bajunya.

“Hitung dulu pak, siapa tahu kurang!” pinta saya.

Ia menghitung dengan cepat. Saya salami dan sekali lagi saya ucapkan kata maaf. Saya segera menuju Kyai SX4 diikuti tatapan belasan pasang mata orang di sekitar TKP.

Baru saja saya masuk ke kabin Kyai SX4, si penjual jagung rebus mengetuk kaca pintu.

“Ada apa pak?”

“Anu… bapak ini bukan polisi atau tentara kan?”

“Bukan… bapak tenang aja. Kalau uang yang saya kasih tadi berlebih, gunakan untuk tambahan modal!”

Ia berlari menuju gerobaknya. Ia bukan orang yang pertama yang menyangka saya sebagai anggota Bhayangkari atawa tentara.

~oOo~

Sepanjang perjalanan pulang saya berpikir mengenai uang lima ratus ribu. Saya mencoba mengingat apa ada keteledoran saya hingga uang tersebut berstatus bukan menjadi hak saya?

Semalam saya mendapatkan jawabannya. Gusti Allah telah menegur saya dengan cara yang manis. Seandainya saat itu (kira-kira sebulan yang lalu) saya nggak menahan uang lima puluh ribu saya masukkan ke kotak amal masjid, tentu saja nggak akan ‘kehilangan’ uang yang jumlahnya sepuluh kali lipatnya.