Rejeki tak akan ke mana

Pada hari minggu, Pak Sastro dan istrinya pergi ke kondangan. Pergi pagi pulangnya menjelang petang. Maklum, tempat hajat yang mereka tuju ada di luar kota.

Ketika pulang, Bu Sastro membuka pintu pagar agar Pak Sastro leluasa memarkir mobil Carry-nya di garasi yang ukurannya sempit. Namun, Bu Sastro melarang Pak Sastro meng-atret mobil karena ia mendapati bungkusan tas kresek warna putih teronggok di ujung tembok garasi.

“Ada apa bune?” tanya Pak Sastro sambil melongok dari jendela mobil.

“Ini loh, kok ada orang menaruh pisang di garasi. Dari siapa ya pakne?” nada suara Bu Sastro menggunakan kalimat tanya juga.

Yo embuh. Wis disimpen dhisik! Aku arep parkir kiye…,” ujar Pak Sastro.

Lelaki setengah baya yang kaki-kakinya masih gesit memainkan pedal gas, rem dan kopling mobil Carry keluaran tahun 1995 itu, dengan sempurna memarkir mobilnya. Sementara itu, Bu Sastro sibuk mengirim SMS ke teman-temannya, barangkali mereka yang mengirimkan sesisir pisang ke rumahnya.

“Teman-temanku nggak ada yang merasa mengirim pisang ini, pakne. Mbok coba pakne tanya ke teman-temannya pakne!” usul Bu Sastro.

Pak Sastro bergeming. Ia menghampiri pisang kepok yang harumnya semerbak mewangi memenuhi sudut-sudut dapur. Bu Sastro yang masih berkebaya lengkap, bertanya kepada tetangga depan rumah, siapa tahu mengetahui eksistensi sesisir pisang kepok itu.

“Jeng, tadi lihat nggak ada orang yang naruh bungkusan di garasi saya?” tanya Bu Sastro.

“O, inggih Budhe. Tadi saya lihat ada seseorang naik motor membuka pintu pagarnya Budhe. Sebelumnya tanya-tanya dulu ke rumah sebelah. Tapi saya  nggak tahu apa yang dibicarakan. Wong ketemu pembantunya,” papar tetangga Bu Sastro.

Bu Sastro pulang ke rumah. Pak Sastro yang sudah berpenampilan rumahan – kaos oblong cap angsa plus sarungan – menatap pada istrinya.

Piye bune, wis entuk sisik melik? Pisang untuk siapa?” tanya Pak Sastro.

“Hmm, bisa jadi pisang ini untuk tetangga sebelah pak. Jangan-jangan salah kirim ke sini,” jawab Bu Sastro.

Kenapa mengira tetangga sebelah? Di kampungnya Pak Sastro, tetangga sebelah adalah seorang pejabat kecamatan – sebut saja Tuan Panjenengane – yang sering kedatangan tamu, di mana para tamunya suka membawa berbagai macam oleh-oleh untuk tuan rumah.

Malamnya, mereka berdua glenikan di depan tipi.

“Tapi bune, mosok to… ada orang ngasih ke Panjenengane cuma pisang sesisir sih? Mestinya sak tundun toh?” Pak Sastro mulai usil dengan urusan orang.

“Iya sih pakne. Tapi ntar aku coba ke sana untuk mengasihkan pisang itu,” tukas Bu Sastro.

Syahdan, Bu Sastro ke rumah Panjenengane dan bertemu dengan Nyonya Panjenengane. Bu Sastro bilang kalau ada sesisir pisang yang terdampar di garasinya, mungkin si pengirim salah alamat. Pisang diterima oleh Nyonya Panjenengane dengan ucapan terima kasih.

~oOo~

Esok harinya.

Seusai mengajar di kelas tiga, Pak Sastro kembali ke ruang guru. Baru saja duduk, ia dihampiri Mang Diman – tukang kebon sekolah tempat Pak Sastro mengajar – dengan berbisik ia berkata kepada Pak Sastro.

“Pak, kemarin saya mengirimkan pisang kepok ke rumah Bapak. Karena Bapak pergi pisang saya taruh di garasi. Anu, kebetulan pohon pisang di samping rumah buahnya banyak.”

Pak Sastro terdiam sejenak. Pikirannya membayangkan peristiwa semalam, ketika istrinya kebingungan mendeteksi kepemilikan pisang kepok yang ranum.

“Eh… ya..ya… sudah saya simpan Mang. Nuhun nyak….,” jawab Pak Sastro grogi.

“Sudah diicip pak?” tanya Mang Diman.

“O… belum… belum… istri saya belum sempat menggorengnya. Mungkin nanti malam… sekali lagi nuhun pisan ya Mang,” sergah Pak Sastro.

~oOo~

Sampai di rumah, Pak Sastro lagi-lagi kembali mengenakan pakaian kesukaannya: kaos oblong cap angsa (kaos yang ini bagian ketiaknya sudah sobek) plus sarung kotak-kotak. Ia memanggil istrinya yang sedang sibuk dondom.

Bune, jebulnya pisang kepok kemarin itu untuk kita. Tadi Mang Diman ngasih tahu,” kata Pak Sastro.

“Belum rejeki kita kali, pakne,” ujar Bu Sastro.

Selang beberapa lama terdengar seseorang uluk-salam. Bu Sastro meletakkan perlengkapan jahitnya dan membuka pintu samping dan keluar menemui tamunya. Tak lama ia masuk ke rumah lagi.

“Siapa bune?” tanya Pak Sastro.

“Nyonya Panjenengane, pakne. Nih, beliau mengantarkan sepiring pisang goreng. Masih kebul-kebul!” kata Bu Satro kenes.

Pak Sastro beranjak dari kursinya dan menjumput satu potong pisang kepok goreng. Ia menghitung jumlahnya, ada enam potong.

“Hmm… enak tenan, bune!” ujar Pak Sastro, dan memanggil anak semata wayangnya untuk ikut mencicipi pisang goreng kiriman Nyonya Panjenengane.

Anak-beranak itu duduk manis di meja makan. Masing-masing melahap dua potong pisang goreng.

“Hakekat rejeki itu apa-apa yang masuk ke dalam perut kita. Kalau masih di luar, masih ada kemungkinan bukan menjadi rejeki kita,” kata Pak Sastro sambil menyeruput teh tubruk buatan istrinya.

Rejeki tak akan ke mana. Dan ia tak salah arahnya.