Rejeki Adipati untuk Karna

Alun-alun Hastinapura pagi itu sangat ramai dipenuhi oleh para pemuda yang akan mendaftar sebagai calon tentara. Mereka datang dari penjuru negeri. Panitia seleksi penerimaan pun menjadi sangat sibuk, mereka terdiri atas: urusan fisik, urusan ketrampilan olah kanuragan dan persenjataan, urusan administrasi, urusan psikologi dan urusan kesehatan. Suasana riuh-rendah mirip audisi idol-idolan seperti di tipi-tipi itu.

Karna – ia memang punya nama asli sesingkat ini – menjadi salah satu pemuda yang ikut dalam barisan antrian yang mengular. Pemuda setinggi 172 cm yang berwajah tampan ini menarik perhatian banyak peserta lain. Bukan karena ia mengenakan kaos merah bertuliskan Enjoy Capitalism, tetapi karena pancaran sinar mata yang optimis ditunjang oleh tubuh yang tegap dan sehat wal afiat.

Seleksi pertama dari segi fisik peserta. Dari ribuan pelamar, terpangkas hingga seperempatnya. Tragis memang. Seleksi yang dilakukan sungguh ketat. Angka seperempat itu termasuk Karna.

~oOo~

Sementara itu di sudut alun-alun yang lain sedang dilakukan kompetisi internal penggunaan senjata para murid Resi Drona. Mereka terbagi menjadi dua kelompok yakni Kurawa (anak keturunan Destarasta – Raja Hastinapura yang buta) dan Pandawa (anak keturunan Pandu, saudara Destarasta). Kakak-adik sepupuan itu memamerkan kebolehan mereka dalam olah berbagai macam senjata. Anak-anak muda asuhan Resi Drona keturunan bangsawan utama Hastinapura itu dengan serius mengikuti kompetisi.

Tak pelak, kompetisi antara keluarga Bharata itu menarik minat para pelamar yang gagal masuk seleksi untuk menontonnya. Sorak-sorai bergema di sekitar alun-alun. Masing-masing penonton punya jagoan yang diharapkan menang dalam kompetisi. Beberapa kali Resi Drona memerintahkan pasukan istana untuk menertibkan penonton.

Ada tanda-tanda kelompok Kurawa kalah. Duryodana – sulung Kurawa – mulai gelisah. Ia keluar arena untuk menenangkan hatinya yang gundah. Otaknya berputar untuk mengalahkan Pandawa.

~oOo~

Karna dengan tenang dan konsentrasi penuh melaksanakan perintah-perintah panitia urusan ketrampilan olah kanuragan dan persenjataan. Dengan gesit ia tangkis serangan-serangan yang dilontarkan panitia. Amat mudah bagi Karna menghadapi latihan semacam itu. Pun ketika ia ditantang olah ketrampilan persenjataan. Gerakan Karna membuat kagum panitia dan membuat gentar peserta lain.

Diam-diam Duryodana mengamati proses seleksi terhadap Karna. Ia mengagumi kemampuan pemuda yang bernama Karna itu. Ia tersenyum, karena mendapatkan jawaban atas kegundahan hatinya.  Ia dekati Karna dan menarik tangannya. Panitia kalang-kabut, namun tak berani menegur Putra Mahkota Hastinapura yang mengganggu proses seleksi tentara.

Duryodana menggelendang Karna ke area kompetisi Kurawa-Pandawa. Sementara di belakang mereka beberapa panitia seleksi berlari-lari mengikuti langkah-langkah Duryodana itu.

“Guru, saya memasukkan anak muda ini dalam tim Kurawa!” teriak Duryodana kepada Resi Drona. Belum juga Resi Drona menjawab, dari mulut Duryodana terlontar kalimat lain, “ia akan melawan Arjuna!”

Resi Kripa – ketua seleksi calon tentara – menerima map dari panitia yang tadi mengikuti Duryodana. Ia meberikan kepada Resi Drona untuk dibacanya. Map merah itu berisi dokumen milik milik Karna.

“Sebentar Mas Dur. Anak muda ini siapa, kenapa kamu bawa ke sini? Kamu tahu kan aturan main kompetisi ini? Hanya untuk kalangan ksatria dan bangsawan Hastinapura. Lihatklah di dokumen ini. Ia pemuda yang tak jelas asal-usulnya. Tak ada dokumen akta kelahiran. Kamu camkan baik-baik, ia hanyalah seorang anak sopir angkot. Derajatnya tak sepadan dengan kita!” papar Resi Drona.

“Guru jangan membeda-bedakan derajat seperti itu. Saya lihat anak muda ini bisa olah kanuragan dan pintar memainkan aneka senjata. Pokoknya, anak muda ini, namamu siapa? Harus masuk tim Kurawa titik!” ujar Duryodana, sambil menoleh ke arah Karna.

“Nama hamba Karna, tuanku,” jawab Karna sambil menundukkan mukanya.

“Hssss…. biasa saja bersikap padaku, Karna. Dan tak usah panggil dengan sebutan tuanku. Bagaimana Guru Drona, Karna bisa masuk tim Kurawa kan?” ulang Duryodana.

Terjadi diskusi seru antara Resi Drona dan Resi Kripa. Dua guru besar dari Universitas Hastinapura itu harus memutuskan permintaan Duryodana yang tak masuk akal dan melanggar adat kerajaan.

“Maaf Mas Dur, kami tak mungkin memenuhi keinginanmu untuk Karna. Kecuali ia seorang bangsawan Hastinapura,”  kata Drona singkat.

Telak. Memohok ulu hati Duryodana.

~0Oo~

Duryodana pun mengajak Karna menghadap ayahnya.

“Ayah, tolong lantik Karna menjadi Adipati. Sekarang juga!” kata Duryodana kepada Raja Destarastra.

Raja buta itu terbengong-bengong mendengar permintaan ganjil anak yang sangat disayanginya itu. Duryodana paham, ayahnya minta penjelasan alasan permintaannya. Maka, Duryodana pun menceritakan secara singkat kejadian sebelumnya.

Raja Destarasta tak bisa menolak keinginan Duryodana. Secepat kilat, protokol istana mempersiapkan upacara pelantikan Karna. Anak sopir angkot itu tertegun memahami nasib baik yang menimpanya. Karna dilantik menjadi Adipati Awangga, sebuah kerajaan di bawah kuasa Hastinapura.