Randédit #2

Bel tanda jam kantor usai berbunyi sepuluh menit yang lalu. Mas Suryat belum beranjak dari kursi dan masih asyik di depan laptopnya. Satu-persatu stafnya pamitan pulang. Tapi sepintas ia melihat ada seorang stafnya yang bolak-balik berjalan di depan ruangannya.

Dan tiba-tiba stafnya itu mengetuk pintu dan mohon izin untuk menghadap. Mas Suryat bisa membaca mimik muka stafnya, tanda seorang yang tengah galau tingkat dewa.

“Sudah, tu de poin saja. Kamu lagi punya kesulitan apa?”

“Saya besok mesti bayar kuliah anak, pak. Sudah ke mana-mana cari pinjaman. Saya memberanikan diri menghadap bapak untuk pinjam uang.”

“Berapa yang dibutuhkan?”

“Tujuh juta, pak.”

“Hahh!! Tujuh juta? Mendadak seperti ini?”

Mas Suryat melipat jidatnya. Ia ingin membantu stafnya itu, tetapi cash-flow kantongnya lagi terganggu.

“Saya bisa ngutangi paling banter separonya, tapi ndak sekarang. Saya lagi ndak pegang uang. Tolong jualkan motor saya. Nanti dari hasil penjualan motor uangnya untuk ngutangi kamu. Piye?

Hening sejenak. Pikiran staf tersebut mungkin sedang berputar-putar. Ia tidak mengira dengan solusi yang ditawarkan Mas Suryat. Barangkali ia menerima dengan terpaksa kunci motor yang diulurkan oleh Mas Suryat.

***

Sudah semingguan ini Kamingsun ngelu kepalanya, ia mesti segera nembayar kartu kreditnya. Dua bulan lalu ia telah salah jalan: tarik tunai melalui kartu kredit, yang jumlahnya lumayan banyak.

“Solusinya pripun pak?”

Mas Suryat terdiam. Ia bingung mau memberikan solusi seperti apa, sebab ia tak punya pengalaman tarik tunai melalui kartu kredit. Jika ia sedang bokek, hutang menjadi tindakan terakhir. Ia akan menjual barang-barang miliknya.

“Kamu punya barang berharga apa Sun, jual saja buat bayar kartu kreditmu!”

“Barang berharga milik saya statusnya masih kreditan pak.”

“Istrimu tahu permasalahan ini?”

“Tahu, pak!”

“Saran saya, apa yang bisa kamu irit ya lakukan. Turunkan lagi level gaya hidupmu. Nggak usah lagi belanja online, misalnya. Atau sabtu-minggu di rumah saja, supaya mobilmu nggak minum bensin. Nilai pengiritanmu tadi buat nambah bayar kartu kredit.”

Kamingsun meraih kalkulator di meja Mas Suryat, dan menghitung nilai pengiritan yang akan ia peroleh nanti.

“Saya mesti prihatin dulu hingga bulan puasa nanti, pak.”

Mas Suryat senang, setidaknya bisa membantu Kamingsun dengan modal abab doang.