Jangan kepo, jangan banyak tanya dan jangan kemaruk

Semenjak berumah tangga dengan Nawangwulan, kehidupan Jaka Tarub berasa sempurna. Bidadari yang kehilangan selendang saat mandi di telaga tak jauh dari rumah Jaka Tarub itu kini menjadi istri Jaka Tarub dan mereka telah mempunyai putri yang cantik, Nawangsih.

Secara ekonomi, keluarga Jaka Tarub berkecukupan. Stok bulir padi di lumbung padinya luber, seperti tak pernah berkurang. Suatu kondisi yang belakangan disadari oleh Jaka Tarub. Dan ia ingin tahu apa kenapa lumbung padinya tetap penuh, sementara untuk makan sehari-harinya Nawangwulan menanak nasi.

Suatu hari, ketika Nawangwulan mencuci pakaian di sungai, Jaka Tarub mengendap menuju dapur dan ia ingin tahu apa yang sedang dimasak oleh istrinya. Tanpa ragu ia membuka dandang yang digunakan istrinya untuk menanak nasi. Betapa terkejutnya Jaka Tarub, ia mendapati dua bulir padi di dalam dandang tersebut. Pantas saja lumbung padinya seperti tidak pernah berkurang.

Akibat ulah Jaka Tarub yang penasaran ingin tahu rahasia dapur istrinya, bulir padi tetap saja menjadi bulir padi, tidak berubah menjadi nasi. Maka sejak saat itu, Nawangwulan mesti menumbuk padi untuk memisahkan beras dengan kulitnya. Lama-lama stok di lumbung padinya menipis.

Syahdan, ketika Nawangwulan mengambil bulir padi di lumbung ia mendapati selendang bidadarinya di bawah tumpukan padi. Ia segera mengenakan selendang itu dan terbang menuju kahyangan. Jaka Tarub seketika menjadi duda.

***

Pada suatu ketika Jaka Tarub dipanggil oleh Ki Ageng, sesepuh desa. Tak perlu waktu yang lama, ia segera menghadap Ki Ageng.

“Tolong belikan kambing.”

Sesepuh desa itu memerintahkan kepada Jaka Tarub.

“Untuk apa, Ki?”

“Akan aku sembelih untuk pesta kelahiran cucuku.”

“Kambingnya jantan atau betina, Ki?”

“Jantan.”

“Yang sudah bertanduk atau yang masih belia?”

“Bertanduk.”

“Beratnya berapa, Ki?”

“Seratus kilo.”

“Bagaimana bentuk ekornya?”

“Tidak panjang dan tidak pendek.”

Waktu Jaka Tarub akan mengajukan pertanyaan lagi, Ki Ageng segera masuk rumah dan meminta Jaka Tarub berangkat mencari kambing.

Jaka Tarub berkeliling dari kampung ke kampung untuk mendapatkan kambing yang diminta Ki Ageng. Ia kesulitan mendapatkan kambing seperti yang diminta oleh Ki Ageng. Hingga esok, lusa, tulat, tubin, ia tak mendapatkan kambingnya.

Ia takut menghadap Ki Ageng. Sementara itu, di rumah Ki Ageng sedang dilakukan pesta syukuran kelahiran cucu dengan hidangan masakan gulai kambing.

***

Ayam di kandang sejak pagi sangat berisik suaranya. Jaka Tarub hapal betul dengan suara semacam itu, suara ayam yang hendak bertelur. Jaka Tarub melongok ke kandang ayam dan ia mendapati telur ayam berwarna kuning emas.

Ia amati telur tersebut. Sangat keras. Ia menduga ayamnya bertelur emas. Tapi ia tidak yakin dan segera membawanya ke tukang emas. Betapa girangnya Jaka Tarub setelah didapat kepastian kalau telur tersebut benar-benar berupa emas.

Dua hari kemudian, ia mendapati telur emas di kandang ayamnya. Begitu seterusnya hingga terkumpul enam telur emas.

Buat apa aku menunggu dua belas hari dan hanya mendapatkan enam butir telur. Alangkah baiknya kalau perut ayam aku belah dan aku ambil semua telurnya. Jaka Tarub bereka-wicara.

Ia segera mengambil pisau dan menajamkannya. Ia membelah perut ayam. Apa yang didapatnya? Ayamnya mati dan di dalam perut ayam tak ada sebutir pun telur emas.