Ranah 3 Warna: Man Shabara Zhafira

Sudah berbagai gaya tidur aku coba, menelentang, menelungkup, menungging, menyamping, tapi mataku tidak mau juga dipicingkan, bahkan sampai ayam jantan dari kandang belakang rumahku berkokok berkali-kali. Fajar datang dan hari ini aku akan mengetahui hasil UMPTN-ku. Selepas salat Subuh, dengan berkelumun sarung, aku dan Ayah telah berdiri di pinggir jalan aspal satu-satunya di kampungku. Sebentar-sebentar aku berjingkat dan memanjangkan leher untuk melihat ujung tikungan, menunggu bus Harmonis paling pagi turun dari Bukittinggi. Bus ini membawa surat kabar Haluan yang memuat pengumuman UMPTN hari ini.

Dari jauh nampak sepasang sinar lampu. Bus Harmonis pertama! Tapi ketika mendekat rupanya truk bahan bangunan milik PLTA Maninjau. Ada mobil kedua muncul di ujung tikungan. Kali ini adalah oplet cigak baruak yang menjadi angkutan antardesa selingkar danau. Aku makin gelisah, waktu rasanya berdetak pelan sekali. Setengah jam kemudian – yang rasanya lama betul – akhirnya bus Harmonis itu mencicit berhenti di depan kami. Sopir yang dikenal baik oleh Ayah merogoh laci dan menyerahkan koran yang kami nanti-nanti. Mukaku terasa panas, tapi ujung jariku dingin dan basah oleh keringat. Ada guruh di dadaku.

Belum bus berjalan jauh, Ayah sudah membentangkan koran lebar-lebar di tanah di tepi jalan besar. Judul besar terpampang: Pengumuman Hasil UMPTN. Kami dua beranak beradu kepala melihat lembar yang memajang hamparan ribuan nomor peserta ujian yang lulus. Ayah sampai perlu menyurukkan kepala mendekat ke koran karena kacamatanya tertinggal di rumah.

Dengan gugup aku eja satu-satu, 01520, 01525, 01527, 01540, wah, urutannya sungguh tidak beraturan, begitu banyak yang tidak lulus. Jangan-jangan tahun ini kelulusan kurang dari 15 persen peserta. Semoga nomorku termasuk yang beruntung.

…01547, 01559, …sedikit lagi. Ya Tuhan, mohon Engkau cetaklah nomor ujianku di koran Haluan ini, begitu doaku tak putus-putus di dalam hati. Mata kami terus menelusuri angka demi angka dalam diam.

…01560, 01575, oh, sebuah lubang besar lagi. Napas Ayah terdengar memburu di sebelahku.

Aku menahan napas dengan telunjuk gemetar menuruni kolom ke bawah, 01577, 01579. Aku baca ulang, agar yakin benar. 01579… Aku rogoh kartu ujianku yang sudah keriputdi saku untuk memastikan. Dan aku geser telunjukku ke sebelah kanan sejajar. Alif Fikri. Namaku tercetak jelas di sana. Telunjukku yang gemetar aku geser ke kanan lagi. Dan tercetaklah di sana nomor kode untuk Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Alhamdulillah ya Tuhan. Sebuah senyum terbit di bibir Ayah. Belum pernah aku melihat senyum Ayah seperti pagi ini. Tanpa suara, tapi sungguh senyum yang lebar dan terang.

Walau bukan Teknik Penerbangan ITB, seperti impian awalku, Jurusan Hubungan Internasional adalah sebuah rezeki besar bagi diriku. Beralaskan koran pengumuman, aku sujud syukur untuk keajaiban ini. Keajaiban tekad dan usaha, keajaiban restu orang tua, keajaiban doa. Di sebelahku, Ayah juga sujud lama sekali. Beberapa orang yang lewat di jalan terheran-heran melihat kami berdua menungging di pinggir jalan.

Bangkit dari sujud, ingin rasanya aku meneriakkan ke seluruh dunia apa yang menggelegak di dadaku. Semua pandangan sebelah mata serta ucapan meremehkan dan belas kasihan kini telah aku bayar tuntas. Lunas! Man yazra’ yahsud, begitu pepatah yang diajarkan di PM. Siapa yang menanam akan menuai yang ditanam. Hari panenku tiba pagi ini diangkut bus Harmonis. Panen raya!

~0Oo~

Sengaja saya kutipkan artikel di atas dari Novel Ranah 3 Warna karya A. Fuadi halaman 28 – 30, karena pengalaman yang hampir sama pernah saya alami tahun 1986 lalu, mungkin juga pengalaman Anda: menembus ujian masuk PTN. Jaman saya namanya bukan UMPTN tetapi Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Novel ini merupakan buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara, diterbitkan oleh Gramedia (Januari 2011), setebal 473 halaman. Karena saya suka pada buku pertamanya, buku kedua ini tidak membutuhkan waktu yang lama untuk saya khatamkan. Menurut saya sih, masih lebih bagusan yang Negeri 5 Menara. Tetapi, buku ini istimewa, karena saya mendapatkan tanda tangan asli penulisnya di halaman paling depan. Man shabara Zhafira, siapa yang bersabar akan beruntung.