Skenario Duryodana untuk minta kenaikan gaji memang jitu, meskipun awalnya penuh penolakan dan satire dari lawan-lawan politiknya, tetapi begitu bendahara kerajaan bilang kalau dia sebenarnya sudah mempersiapkan rumusan kenaikan gaji pejabat – termasuk gaji Duryodana, sejak tiga tahun sebelumnya lawan-lawan politiknya diam, karena ternyata mereka juga akan ikutan naik gaji. Tetapi masih ada beberapa kalangan yang mengkuatirkan kalau menaikkan gaji ribuan pejabat dan gaji Duryodana akan memicu terjadinya inflasi.
Duryodana tidak ambil pusing. Ia diingatkan oleh mBak Banowati untuk segera memanggil Om Sengkuni – penasihat kerajaan sekaligus penasihat spiritual keluarga Duryodana, untuk membicarakan dendam kesumat bagaimana mempermalukan Drupadi. Harap maklum, jatuhnya Duryodana di kolam kerajaan Indraprasta sampai kini masih jadi bahan tertawaan di media seperti koran, fesbuk, tuiter, maupun blog. Dan rasanya terus menyebar dan beranak-pinak, sehingga susah untuk dikendalikan.
~oOo~
Drs. Sengkuni S. Ag menyarankan kepada Duryodana untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Bukan sembarang permainan, karena akan dibumbui dengan taruhan harta dan harga diri. Tentu saja, ini sebuah skenario licik. Buah dadu akan dimantra-mantrai oleh Drs. Sengkuni. Kok bisa? Iya bisa, wong S.Ag-nya itu Sarjana Alam goib.
Syahdan, permainan dadu dimulai. Hari pertama taruhan masih kecil-kecilan. Hari kedua taruhan makin besar nilainya. Lalu, permainan di hari ketiga, harga diri yang dipertaruhkan. Yudhistira sebagai raja Indraprasta bermain habis-habisan dan makin brutal. Pandawa mengalami kekalahan yang dahsyat. Wangsa Kurawa bersorak gembira.
“Yudhistira, kalian sudah kalah total sekarang ini. Harta bendamu sudah habis, beralih dibawah kekuasaanku. Termasuk diri kalian, menjadi milik Duryodana ha..ha…ha…!” Duryodana berkata begitu jumawanya, “tapi kalau kamu menginginkan harta dan harga dirimu, sebenarnya masih ada satu harta berharga yang bisa kamu pertaruhkan dalam permainan dadu ini.”
Mata Yudhistira berbinar. Masih ada satu peluang untuk memenangkan permainan. “Ya…ya.. aku pertaruhkan Drupadi, istriku!”
Duryodana senang alang kepalang, Yudhistira sudah masuk perangkap yang dibuat oleh Duryodana atas usul Drs. Sengkuni S.Ag. Sementara, anggota Pandawa lainnya – Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, terperanjat atas keputusan kakaknya. Sudah terlambat, sabda pandhita ratu, titah sang raja tidak bisa ditolak.
Dadu disiapkan. Ruangan menjadi sunyi. Dadu dikocok. Bunyinya menggetarkan hati yang mendengarkan. Kurawa atawa Pandawakah yang menang? Kocokan berhenti. Tetapi, dadu masih tersembunyi di dalam mangkuk.
“Buka!” perintah Drs. Sengkuni. Semua tegang. Maka, yang terjadi biarkan terjadi. Pandawa kalah.
Duryodana memanggil Prathikami, sopir pribadinya untuk menjemput Drupadi yang menginap di wisma istana, yang jaraknya seribu meter dari area permainan dadu.
“Nyonya Drupadi, saya diperintahkan oleh Paduka Duryodana untuk menjemput panjenengan. Critanya begini, suami Nyonya kalah dalam permainan dadu. Lha, beliau itu telah mempertaruhkan semuanya, termasuk diri Nyonya. Karena kalah bertaruh, panjenengan sekarang jadi milik Paduka Duryudana. Katanya, panjenengan akan dijadikan pelayan di istana,” kata sopir itu.
Drupadi seperti tersambar geledek mendengar ucapan sopir Duryodana, “Hei, kamu ini ngomong apa sih? Hanya raja gila yang mempertaruhkan istrinya. Ntar dulu, apakah Mas Yudhis sudah nggak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan? Nggak… nggak.. aku nggak mau datang ke area main dadu. Katakan pada tuanmu!”
“Tapi… nyonya…, ” sopir itu kehilangan kata-kata.
“Wis, nggak usah pake tapi-tapian. Cepet balik ke Duryodana lalu tanyakan kepadanya, apakah mas Yudhis kehilangan istrinya dulu atau dirinya sendiri. Tolong Duryodana suruh menjawab pertanyaan ini dan kamu nanti bisa membawaku pergi dari sini”. Drupadi kembali masuk ke wisma dengan membanting pintunya.
Bisa diduga. Duryodana marah besar mendengar cerita Prathikami yang melaporkan hasil pertemuannya dengan Drupadi. Yudhistira yang ikut mendengar penuturan Prathikami menjadi malu hati.
“Dursasana … kemari kau….pergi dan bawa Drupadi kemari. Kalau nggak mau juga, seretlah!” amarah Duryodana menggelegar. Dursasana segera menjalankan perintah kakaknya dengan riang gembira.
“Hoi… wong ayu, ikutlah denganku. Sekarang ini kamu milik wangsa Kurawa!” Dursasana berteriak sambil mendobrak pintu lalu memaksa Drupadi ikut dengannya. Drupadi ketakutan, dan bersembunyi di balik dipan. Ia jambak rambut Drupadi, lalu menyeret Drupadi ke arena permainan dadu. Menyedihkan.
Suasana di arena permainan sunyi, hanya suara Drupadi yang minta dilepaskan dari cengkraman tangan kekar Dursasana. Setelah terlepas, Drupadi berusaha tegar, lalu ia berkata kepada sesepuh Hastinapura yang hadir di arena permainan dadu.
“Wahai para sesepuh Hastinapura. Aku sama sekali nggak memahami perasaan dan nurani kalian yang bisa mendiamkan diriku dijadikan taruhan oleh Mas Yudhistira. Pasti kalian tahu, mas Yudhis sendiri telah dijebak dalam permainan keparat ini dan aku sangat yakin ia ditipu dalam konspirasi jahat yang dikemas dalam permainan ini. Bukankah mas Yudhis sendiri sudah nggak memiliki kebebasan lagi, bagaimana mungkin ia mempertaruhkan istrinya?”
Drupadi menghapus air mata yang jatuh di pipinya, lalu melanjutkan perkataannya, “Nekjika kalian mencintai dan menghormati ibu yang melahirkan dan menyusui kalian, nekjika kalian menghargai kehormatan istri, saudari, atau anak perempuan kalian, nekjika kalian memang percaya kepada Tuhan dan dharma, jangan biarkan aku dihina seperti ini. Penghinaan ini jauh lebih kejam dari pada pembunugan yang paling keji sekalipun!”
Drupadi terjatuh, sesekali terdengar isak tangisnya. Pemandangan itu membuat orang yang masih punya perasaan merasa malu dan tersayat-sayat hatinya. Tetapi, bangsawan Kurawa semua takut kepada Duryodana.
Hati Bima ikut terluka dan ia menoleh kepada kakaknya, “Kamu memang gila mas. Penjudi kelas kakap bin paling bejat sekalipun nggak akan mempertaruhkan perempuan kotor yang mereka pelihara. Tetapi, kamu mas…. oh… kamu jauh lebih buruk dari pada mereka. Teganya kamu lemparkan istrimu pada bangsat-bangsat Kurawa itu. Biarkan aku bakar istana ini, aku nggak bisa lagi membiarkan ketidakadilan ini!”
“Tenang Bim. Aku tahu ada tipu muslihat yang dirancang oleh Duryodana ini, tak lain untuk menjebak kita agar ikut berbuat jahat. Jadi, tetaplah waspada”, kata Yudhistira kalem, seperti biasanya.
“Sudah… sudah… menurutku sih, sejak awal permainan ini, ketika Yudhistira masih bebas, ia sudah mempertaruhkan semua yang ia miliki. Tentu saja ini berarti termasuk Drupadi, kan? Bahkan pakaian yang mereka kenakan sekarang pun adalah milik Duryodana!” Karna, yang juga ikut menonton permainan dadu memberikan suaranya.
Mendengar perkataa Karna tadi, Pandawa segera sadar kalau mereka harus menghadapi cobaan dharma yang paling berat dalam hidup mereka. Lalu, meereka pun menanggalkan semua pakaian dan siap mengikuti jalan kehormatan dan kebenaran. Hanya Drupadi yang belum melepas pakaiannya.
Melihat Drupadi yang hanya diam, Dursasana menghampiri Drupadi dan dengan garang bermaksud melepaskan pakaian Drupadi dengan paksa.
Drupadi sadar kalau tidak mungkin lagi ada yang menolongnya. Ia pejamkan mata dan khusyuk memohon pada yang Maha Kuasa, ” Duhai Penguasa Semesta, jangan tinggalkan aku dalam penghinaan yang sangat menyakitkan ini”.
Dengan tertawa-tawa Dursasana melucuti pakaian Drupadi, lapis demi lapis. Dursasana makin bersemangat ketika saudara-saudaranya menyuruhnya mempercepat pekerjaannya. Sementara bagi yang masih punya hati nurani, merasa malu dan menundukkan pandangannya.
Terjadi keajaiban. Lapis demi lapis pakaian Drupadi yang dilucuti oleh Dursasana seakan tiada habisnya. Kain menumpuk seperti gunung. Dursasana kelelahan. Ia terduduk lemas, kehabisan tenaga.
Keajaiban ini membuat semua orang terperangah.
Lalu, Bima maju ke depan mengucapkan sebuah sumpah. Ia akan mbetheti tubuh Dursasana dan memakan jantungnya.