Raja Petruk yang suka curhat

Dalam kegalauannya Petruk teringat peristiwa di mana ia dinobatkan menjadi seorang raja. Berdasarkan perasaannya sih, saat itu mayoritas rakyat Kerajaan Suralaya mendukungnya menjadi raja. Suara sorak-sorai rakyat Suralaya masih terngiang di gendang telinganya.

“Hidup raja Petruk…. hidup raja Petruk… hidup raja Petruk!” Entah siapa yang memberi komando, suara yel-yel tersebut bersahutan tiada henti. Suara-suara itu membesarkan nyali Petruk. Tanpa diketahui oleh siapa pun, Petruk mencubit tangannya untuk memastikan kalau peristiwa yang menimpanya itu bukan mimpi, tetapi nyata belaka.

Petruk tersenyum. Ini bukan mimpi. Ia kini menjadi pemimpin tertinggi Kerajaan Suralaya. Tetapi sesungguhnya Petruk tidak tahu apa yang menyebabkan ia menjadi raja. (Kisah ini silakan baca di artikel Dan Petruk pun menjadi raja)

Dan sesungguhnya pula ia tak yakin bisa mengendalikan roda pemerintahan di Kerajaan Suralaya. Satu-satunya orang yang bisa ia curhatin ya cuma Ki Dalang Ndobos Carita. Dan biasanya, apa kata Ki Dalang ia telan mentah-mentah bahkan segera ia buat sebagai suatu keputusan politiknya.

Contohnya beberapa waktu yang lalu saat ia menyusun kabinet pemerintahannya. Ia menunjuk kakaknya sendiri sebagai menteri di bidang perekonomian negeri, tak lain dan tak bukan yaitu Nala Gareng. Ini nepotisme pertama yang ia lakukan. Berikutnya, ia menyelipkan anaknya yang bernama Bambang Balung menjadi Ketua Satgas Urusan Pencitraan. Tentu saja ini masuk ranah nepotisme, wong gaji anggota Satgas diambilkan dari kas negara. Petruk yang mempunyai nama asli Bambang Penyukilan itu tak habis mengerti kenapa kabinet yang dibentuknya susah dikendalikan. Semua instruksinya hanya 30% saja yang dilaksanakan, selebihnya dicuekin oleh para menterinya. Ia pun curhat kepada Ki Dalang.

Piye to, masak menteri kok pada mbalelo pada titah saya. Terutama kakang Nala Gareng itu. Saya curiga, dia mengincar tahta Suralaya. Ki Dalang ada saran nggak?” desak Petruk yang berbadan tinggi besar itu.

“Tentu ada ndoro. Hambok, panjenengan besanan sama Nala Gareng. Bukankah beliau punya anak gadis yang kinyis-kinyis to? Sepertinya cocok banget dikawinkan dengan putra panjenengan, Mas Bambang Balung yang ngguanteng itu. Pripun, ndoro?” usul Ki Dalang.

Petruk lega. Nasihat Ki Dalang terasa sangat cespleng. Tidak dalam waktu yang lama, pagelaran perkawinan agung pun dilaksanakan di salah satu puri milik Kerajaan Suralaya. Banyak yang bilang kalau perkawinan tersebut sebagai perkawinan politik. Lha iya, Mas Bambang Balung itu terkenal sebagai play boy, masak mau saja dijodohkan dengan putrinya Nala Gareng. Tapi nggak apa-apa, demi stabilitas pemerintahan di bawah kendali bapaknya, Mas Bambang Balung enjoy aja menjalani perkawinan itu. Dan nasihat Ki Dalan memang jitu. Nyatanya sekarang ini Nala Gareng sepenuhnya mendukung kebijakan Raja Petruk.

~0Oo~

Kembali Raja Petruk curhat ke Ki Dalang, kalau saban hari ia diancam mau dibunuh kalau tidak mau mundur dari tahta Kerajaan Suralaya.

Sing ngancam sinten, ndoro?” tanya Ki Dalang.

Haiyo embuh. Orang yang mengancam nomornya nggak saya kenal je?” jawab Petruk.

Loh… memang ngancamnya pakai apa?” Ki Dalang penasaran.

“Lewat SMS,” jawab Petruk.

Loh…loh… kok dia tahu nomor hape panjenengan?” tanya Ki Dalang lagi.

Haiyo tahu, wong nomor hape tak sebarkan ke mana-mana!” jawab Petruk sewot.

“Ya… salah sendiri. Wong nomor hape kok dikewer-kewer ke mana-mana. Sudah sekarang nomor itu dicabut saja, ganti yang baru!” usul Ki Dalang.

Lagi-lagi Petruk mengikuti nasihat Ki Dalang. Dan benar saja, sejak ia mengganti nomor hape nggak ada ancaman yang masuk. Cuma saja, kini ia sering dipusingkan dengan SMS minta pulsa, SMS penawaran pinjaman tanpa agunan, dan SMS iklan ini-itu.

~oOo~

Syahdan, Petruk menggelar sidang kabinet terbatas. Nala Gareng memberikan informasi yang membuatnya gelisah. Perekonomian Kerajaan Suralaya berada di ujung tanduk. Cash-flow kacau.

“Terus cara mengatasinya gimana kakang Nala Gareng?” tanya Petruk yang jidatnya penuh dengan butiran keringat.

“Kita mesti menaikkan harga cabe, Paduka. Soalnya harga cabe di dunia WayangSlenco naiknya sudah gila-gilaan. Cadangan cabe negeri kita sangat terbatas. Kita tahu, dalam beberapa bulan terakhir petani cabe kita terkena paceklik karena banyaknya gagal panen cabe!” papar Nala gareng berapi-api.

“Bukankah cabe salah satu komoditas utama yang dikonsumsi oleh rakyat kita? Apakah nanti tidak membebani rakyat? Apakah dengan menaikkan harga cabe citra saya di mata publik nggak merosot?” tanya Petruk sambil menahan kecewa. Entah kecewa kepada siapa.

Semua menteri diam. Pun dengan Nala Gareng.

“Ada solusi lain nggak selain menaikkan harga cabe?” Petruk bertanya lagi. Matanya lurus ke arah Nala Gareng.

“Tidak ada, Paduka. Memang ini suatu keniscayaan yang harus ditempuh,” jawab Nala Gareng.

“Baiklah kalau memang itu menjadi satu-satunya jalan keluar. Kakang Nala Gareng saya perintahkan untuk melakukan sounding dulu ke rakyat kita. Nanti akan kita ketahui rakyat mendukung harga cabe naik atawa tidak!” titah Petruk.

Rapat bubar. Esoknya, Nala Gareng mulai ngoceh di tipi-tipi kalau pemerintah Petruk berniat menaikkan harga cabe. Apa reaksi rakyat Kerajaan Suralaya?

Terjadilah demo besar-besaran menolak rencana pemerintah Petruk menaikkan harga cabe. Bisa dibayangkan, rakyat Suralaya yang terkenal doyan banget makan sambel, jika sehari saja tanpa ada sambel yang menyertai menu makanan mereka karena harga cabe yang selangit. Mahalnya harga cabe mengancam stabilitas nasional. Terjadi bentrok di sana-sini, rakyat dengan rakyat, rakyat dengan aparat.

Tuntutan rakyat menjadi mengerucut: turunkan harga cabe atawa turunkan Petruk!!

~oOo~

Mendengar itu semua, Petruk uring-uringan. Apalagi belakangan, Nala Gareng ikut menolak rencana Petruk menaikkan harga cabe. Kemudian disusul oleh Bagong yang juga menolak rencana itu. Petruk merasa sendirian dan kini ia mencari Ki Dalang.

“Ki Dalang….. Ki Dalang…. di mana kamu berada? Apakah dirimu juga meninggalkan aku?” suara Petruk terdengar pilu.