Mat Kohar duduk leyeh-leyeh di balai-balai depan rumahnya, setelah hampir seharian jajah desa milangkori (jajah = well-traveled, desa milangkori = to go from one village to another) menjajakan dagangannya. Tiba-tiba saja ia kedatangan seseorang berlari ke arah pintu rumahnya. Mat Kohar pun mak gregah bangkit dari duduknya dan menghadang orang tersebut.
“Kisanak, tolonglah saya. Izinkan saya bersembunyi di dalam rumahmu. Saya sedang mendapatkan fitnah, dituduh mencuri uang toko milik Wan Tajir!” kata orang tersebut ketakutan, nafasnya tersengal tidak teratur.
“Hmm.. jadi kamu toh yang sedang dicari-cari oleh para pegawainya Wan Tajir. Tadi waktu saya lewat depan tokonya, orang-orang pada meributkan ada pencuri yang melarikan diri,” kata Mat Kohar.
“Benar. Orang yang dikejar-kejar pegawainya Wan Tajir memang saya. Tapi, demi Allah saya bukan pencurinya,” jawab orang itu.
“Baiklah, saya percaya kamu. Bersembunyilah di dalam rumahku,” ujar Mat Kohar.
Tak lama, Wan Tajir dan para pegawainya sampai di depan rumah Mat Kohar. Dua atawa tiga anak buahnya menunjuk ke arah dalam rumah Mat Kohar dan meyakinkan Wan Tajir kalau mereka melihat orang yang dikejarnya masuk ke dalam rumah itu.
“Ada apa Wan? Kok ramai-ramai datang ke rumahku yang sederhana ini. Silakan duduk,” kata Mat Kohar ramah.
“Ngene Mat, beberapa pegawaiku melihat orang yang kami masuk ke rumahmu. Izinkan kami menggeledah rumahmu. Orang yang masuk rumahmu itu orang yang mencuri uang di tokoku. Kami akan menghajar orang itu!” kata Wan Tajir setengah emosi.
“Wan Tajir punya bukti kalau ia pencurinya?” tanya Mat Kohar.
Pendapatkan pertanyaan tersebut Wan Tajir diam, dan ia menyapukan pandangan kepada para pegawainya seolah minta mereka dapat menjawab pertanyaan Mat Kohar.
“Sudahlah Wan, kita obrak-abrik saja rumah Mat Kohar ini. Ia pasti menyembunyikan pencuri itu!” teriak salah seorang pegawai.
“Berapa uang yang dicurinya, Wan?” tanya Mat Kohar lagi.
“Dua juta rupiah!” jawab Wan Tajir.
“Saya akan mengganti uang yang dicurinya itu!” ujar Mat Kohar.
Mata Wan Tajir melotot. Para pegawainya menertawakan kalimat yang dilontarkan Mat Kohar barusan.
“Ngimpi! Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu? Aku tahu, penghasilanmu sehari-hari dari berdagang keliling desa paling cuma cukup untuk makan sehari-dua! Wis, ora…. serahkan orang itu kepada kami!” bentak Wan Tajir.
“Saya akan mengganti uang dua juta itu dengan setiap tetes keringat yang keluar dari tubuh saya. Wan Tajir bisa menggunakan tenaga saya hingga bisa menjadi pengganti uang dua juta yang hilang itu. Pripun?” tawar Mat Kohar.
Wan Tajir kembali diam. Baginya sungguh aneh tawaran yang disampaikan oleh Mat Kohar. Kenapa ia begitu membela orang yang dituduhnya mencuri uang di tokonya.
“Tidak! Saya nggak rela kalau Mat Kohar yang baik hati ini meneteskan keringat untuk menyelamatkan saya. Lebih baik Wan Tajir memotong tangan saya, sebagai penebus uang dua juta rupiah yang menurut kalian saya pencurinya. Namun demi Allah yang Maha Tahu, saya ikhlas kehilangan tangan jika itu bisa memuaskan hati orang yang memfitnah saya,” kata orang yang dituduh mencuri begitu keluar dari dalam rumah.
“Kisanak, please deh. Saya tahu kamu termasuk orang yang sedang dizalimi, jadi biarlah saya yang menanggung beban ini. Tenaga saya masih sanggup untuk mengganti uang yang hilang itu,” tukas Mat Kohar.
Lagi-lagi Wan Tajir diam mendengarkan perdebatan Mat Kohar dan orang yang dituduhnya mencuri. Namun diamnya kini karena takjub karena menyaksikan Mat Kohar telah melakukan salah satu kewajiban seorang muslim yakni setiap muslim untuk melindungi saudaranya yang dizalimi.
“Demi Allah, peristiwa sore ini membuatku terharu dan sadar bahwa setiap muslim itu bersaudara, meskipun Mat Kohar dan orang ini sebelumnya tidak saling mengenal tapi aku melihat kalian seperti saudara yang saling melindungi. Uang yang hilang aku ikhlaskan, mungkin pencuri itu memang sedang membutuhkan uang tersebut. Maafkan aku…!” kata Wan Tajir sambil menyalami Mat Kohar dan orang yang dituduh mencuri.