Radio Kesayangan

Di radio aku dengar…lagu kesayanganmu…” Kalimat ini cuplikan lagu Gombloh di tahun delapan puluh tigaan dulu. Ya, saya mau cerita tentang radio saya (tuh.. fotonya ada di samping). Radio memang barang elektronik ajaib, artinya meskipun telah lahir teknologi canggih yang memanjakan genderang telinga dengan lagu-lagu berformat mp3 atau mp4 radio tetap saja dicari orang. Bahkan HP keluaran terbaru, tetap saja menyertakan menu radio di dalamnya.

Saya ingat ketika kecil dulu radio satu-satunya hiburan di rumah saya. Jangankan TV, aliran listrik saja belum sampai di rumah saya. Jadi, untuk menyalakan radio menggunakan battery besar 4 biji.

Bapak saya suka acara RRI Surakarta dan itu dinikmatinya kalau malam hari, sebagai pelepas penat setelah seharian bekerja. Pagi sampai siang hari, radio itu jadi milik ibu saya. Sambil memasak di dapur ibu menghibur diri dengan mendengarkan ketoprak dengan lakon Johar Manik yang diperankan oleh Marsidah, BSc dan dilanjutkan dengan sandiwara “Pasir-pasir di Laut”. Siang hari, saya dan adik-adik pulang sekolah sambil menikmati makan siang hasil kreasi ibu, kami bersama-sama mendengarkan sandiwara radio “Saur Sepuh”, agak sore menggeser saluran untuk mendengarkan sandiwara “Ibuku Malang Ibuku Tersayang”. Malam harinya ada lagi sandiwara “Pelangi di Atas Singasari”, tiga sandiwara yang saya sebut terakhir diproduksi oleh Sanggar Prativi, dengan sponsor obat batuk/flu. Sanggar Prativi memang hebat, saya pun hapal dengan pemeran-pemerannya seperti Ferry Fadly, Ivone Rose, Maria Oentoe, Bahar Mario, Idris Apandi, Elly Ermawati, Eddy Dhosa dan lain-lain.

Radio Bapak saya jenis 2 band, gelombang MW dan SW. Jam 5 pagi, Bapak suka mendengarkan BBC atau Radio Nederland siaran Indonesia. Saya ikut menguping juga. Ada rasa bangga bisa mendengarkan berita tentang Indonesia yang disiarkan dari radio mancanegara. Hal ini bisa digunakan sebagai bahan bercerita dengan teman-teman di sekolah nanti. Malam minggu kami rela tidak tidur untuk mendengarkan wayang kulit semalam suntuk yang disiarkan RRI Surakarta.

Di masa kuliah dulu, radio masih jadi teman setia di kamar kontrakan saya. Gelombang radio mulai beralih ke FM, dengan segmen pendengar kawula muda. Acara tradisional semacam ketoprak, lagu keroncong atau sandiwara radio mulai hilang bersamaan dengan beralihnya gelombang MW ke FM. Acara “Anda Meminta Kami Memutar” yang semula membacakan surat-surat yang masuk, diganti dengan request by phone (sekarang memanfaatkan teknlogi SMS). Tapi pendengar radio itu memang orang fanatik, gelombang MW masih saja punya pendengar setia.

Sampai sekarang saya tidak meninggalkan radio. Berangkat dan pulang kantor, siaran radio menjadi teman saya. Dari radio saya mengetahui berita terbaru, kondisi lalu lintas jalanan, lagu-lagu yang sedang hits maupun ramalan cuaca seminggu ke depan. Kalau di rumah, radio menemani saya saat-saat menjelang tidur (wuih…paling nikmat mendengarkan lagu-lagu nostalgia… nyetelnya sayup-sayup…) atau ketika saya duduk-duduk di teras rumah menikmati udara sore di hari sabtu/minggu, ditemani secangkir kopi hangat dan buku di tangan.

Radio saya tidak menggunakan listrik, sama seperti radio Bapak saya dulu, masih menggunakan battery besar 4 biji. Saya berburu radio ini ketika berada di Solo, model kuno (masih menggunakan kotak kayu, tutup belakang terbuat dari hard-board, tempat battery berupa selongsong plastik putih) tetapi berteknologi baru : 3 band, SW, AM (kok sekarang tidak menggunakan MW lagi ya?) dan ada gelombang FM-nya. Menggunakan battery suara radio lebih jernih dan bisa ditenteng ke mana-mana.