Perang Paregrek, Mempertegas Upaya Pelurusan Sejarah Blambangan

Buku Perang Paregrek (PP) 2 karya Langit Kresna Hariadi (LKH) setebal 480 halaman ini, lanjutan dari Perang Paregrek 1. Jarak terbit buku ini dengan buku karya LKH sebelumnya cukup lama, mengingat LKH sedang sibuk menikmati rasa nyeri yang menyengat dalam peralihan posisi duduk akibat keadaan yang oleh para ahli kedokteran disebut Lumbal Sacral. Hal ini sering dikatakan oleh LKH dalam berbagai kesempatan, seperti yang ia ceritakan di www.langitkresnahariadi.com.

Penerbitan buku PP ini, bagi LKH untuk mempertegas upaya pelurusan sejarah Blambangan, terutama untuk Minak Jingga tokoh utamanya. Buku PP 2 ini lebih tipis dibanding bukunya yang lain (Pentalogi Gajah Mada, Paregrek 1 serta Candi Murca 1, 2 dan 3 yang masing-masing lebih dari 800 halaman) dan cerita di dalamnya terasa sangat cepat sedikit cerita kembangan, beda dengan PP 1 dulu. Untuk menikmati PP 2, terpaksa harus baca ulang (secara sepintas) PP 1 untuk sekedar mengingat alur cerita sebelumnya.

PP 2 menceritakan persaingan kubu istana kanan – tempat tinggal Biniaji istri muda Hayam Wuruk, yang juga ibu kandung Breh Wirabumi atau yang terkenal dengan nama Minak Jingga, dengan kubu istana kiri, tempat tinggal Permaisuri Paduka Sori Sri Sudewi.   

Perseteruan kedua kubu makin memuncak ketika Hayam Wuruk sakit akibat diracun, sehingga raja Majapahit itu tidak bisa secara langsung mengatur jalannya pemerintahan. Belum sembuh penyakit Hayam Wuruk, persoalan ditambah lagi dengan hilangnya Kuda Narapdya, menantu Hayam Wuruk dan upaya pembunuhan terhadap Biniaji dengan cara melepaskan puluhan ular ganas di kamar Biniaji.

“Selama ini aku memilih diam,” teriak Breh Wirabumi dengan suara serak dan parau, “apa pun yang dilakukan penghuni istana kiri terhadap ibuku, aku berusaha sabar, berusaha memanjangkan usus sampai memenuhi rongga perutku. Aku menyadari, sebagai istri muda keberadaan ibuku benar-benar sebagai pengganggu. Oleh rasa bersalah itu pula ibuku tidak melakukan perlawanan dan memaksaku untuk juga tidak melawan. Namun ketika ibuku harus mengalami perlakuan seperti itu, apakah aku masih akan tetap tinggal diam? Aku sudah menghitung semua pihak tidak akan mengambil tindakan, tidak ada yang berani melakukan penyelidikan apalagi menjatuhkan hukuman. Kalau sudah demikian, untuk apa Kitab Kutaramanawa itu ditulis?”

Dan di tengah gejolak yang terjadi di istana Majapahit, Breh Wirabumi sempat menyiapkan pasukan yang siap perang. Bahkan Sekar Kedaton Kusumawardani mendukung rencana Breh Wirabumi ini. Tetapi, dengan pertimbangan akal sehatnya, ia akhirnya membubarkan pasukannya.

Membaca buku PP 2 ada terasa yang mengganjal, disebabkan mutu cetakan yang kurang baik seperti tulisan miring atau kurang tercetak dengan jelas. Salah ketik juga masih terjadi di beberapa halaman. Editor juga kurang teliti karena tersebut nama Singapura di halaman 45 dan 50, mestinya waktu zaman Majapahit masih bernama Tumasek atau menyebutkan nama Surabaya di halaman 278, mestinya Surabaya masih bernama Hujung Galuh.

Secara keseluruhan, PP 2 lebih seru daripada PP 1! Semoga LKH selalu diberi kesehatan dan kekuatan, karena karya-karyanya telah memberikan pencerahan sejarah masa lalu bagi para penggemarnya.