Raden Hidjo bertemu dengan Raden Ajeng Biroe

Pada suatu sore di Kota Solo, awan-gemawan bersinar terang sehingga membuat masyarakat kota itu menjadi amat bahagia. Lebih-lebih pada malam harinya di Sriwedari akan ada keramaian (di Solo, bila sudah tanggal 25 puasa, di Sriwedari tentu ada keramaian yang diselenggarakan oleh Kerajaan Kasunanan). Sudah barang tentu, pada saat itu, di jalan-jalan banyak orang yang berpakaian bagus-bagus akan datang ke Sriwedari. Bom pertama di Sriwedari sudah berbunyi. Tandanya  bahwa di Sriwedari malam itu, ada keramaian. Orang-orang di dalam kota yang mendengar suara bom itu bersorak kegirangan. Sebab mereka akan bisa melihat keramaian di Sriwedari.

Dag, Roe!” kata Raden Hidjo kepada Raden Ajeng Biroe. Sewaktu ia sampai di rumah Rade Ajeng Biroe sedang duduk di atas kursi, siap-siap hendak mandi. “Di mana papa dan mama?”

“Sedang pergi ke Lawean (nama kampung di Kota Solo),” jawab yang ditanya dengan senang hati. “Duduklah, saya hendak mandi!”

“Pergi ke Sriwedari?” tanya Biroe kaget seraya bangkit dari tempat duduknya. Sebab selamanya Hidjo tidak pernah mengajak dia melancong.

“He! Djo, tumben hari ini kamu kelihatan luar biasa. Biasanya kalau kamu saya ajak plesir, kamu kelihatan malas sekali. Tetapi hari ini tidak. Apa sebabnya?” tanya Raden Ajeng Biroe panjang.

“Ah, tidak apa-apa!” jawab Hidjo.

“Apakah kamu sudah tidak suka dengan buku-bukumu?” tanya Raden Ajeng Biroe tampak senang.

“Ah, tidak,” jawabnya pendek.

“Tunggu sebentar, saya mau mandi dulu,” kata Biroe.

“Baik!” kata Hidjo.

Raden Hidjo, di rumah Raden Ajeng Biroe yang sedang mandi, ia tak lupa mengambil buku Raden Ajeng untuk dibaca sambil menunggu tunangannya.

Heerlijk!” sambil berjalan cepat dari kamar mandi menuju kamarnya.

“Oh, ya!” jawab Hidjo yang baru membaca buku dan menatap Biroe sebentar.

“Djo, ik ben klaar!” kata Raden Ajeng sehabis berdandan, keluar dari kamar dan menghampiri tunangannya.

“Ya!” kata Hidjo pendek. Tetapi ia tetap membaca buku.

“Marilah!” kata Raden Ajeng yang sudah berdiri di sampingnya dan kelihatan tidak sabar menunggu.

Goed, tunggu sebentar!” Hidjo tetap membaca buku itu.

~oOo~

Judul Raden Hidjo bertemu dengan Raden Ajeng Biroe adalah bagian Bab II dari buku yang berjudul Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo. Kisahnya sendiri dimulai ketika ayah Hidjo yang bernama Raden Potronojo berencana menyekolahkan Hidjo ke Belanda. Dengan disekolahkannya anaknya itu, Raden Potronojo berharap bisa mengangkat derajat keluarga yang berasal dari kalangan pedagang. Meskipun sudah menjadi saudagar sukses, sehingga gaya hidupnya bisa menyamai kaum priyayi murni dari garis keturunan tidak berarti kesetaraan diperoleh, khususnya di mata kaum priyayi yang dekat dengan gouvernement.

Sebaliknya, Raden Nganten Protronojo – ibu Hidjo, berpandangan sebaliknya. Ia begitu kuatir melepas Hidjo ke negeri yang sarat dengan pergaulan bebas. Meskipun demikian, Hidjo pergi juga ke Belanda. Ketika bersekolah di Belanda, mata Hidjo terbuka melihat kenyataan yang ternyata tidak sesuai yang dibayangkan. Di sana sama saja seperti di Hindia Belanda. Ada orang yang jadi majikan, ada orang yang jadi jongos, ada yang jahat, ada yang baik. Hidjo dapat menikmati sedikit hiburan ketika dirinya memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atawa di rumah kosnya. Hal tersebut mustahil dilakukan di Hindia Belanda.

Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo ini pertama kali ditulis pada tahun 1918 sebagai cerita bersambung di Harian Sinar Hindia, kemudian terbit sebagai buku tahun 1919. Pada tahun 2010, diterbitkan kembali oleh Penerbit Narasi Yogyakarta setebal 140 halaman. Saya mengenal nama Mas Marco Kartodikromo dari buku Sang Pemula karangan Pramudya Ananto Toer. Mas Marco Kartodikromo adalah seorang wartawan sekaligus aktivis kebangkitan nasional. Ia pernah menjabat sebagai sekretaris Sarekat Islam Solo. Di tahun 1914 ia mendirikan organisasi wartawan Inlandsche Journalisten Bond, namun organisasi ini hanya bertahan setahun karena bubar setelah Mas Marco Kartodikromo dipenjara.

Di Bandung ia bergabung dengan penerbitan Surat Kabar Medan Prijaji pimpinan Tirto Adhi Soeryo di mana saat itu Medan Prijaji sedang berada di puncak kegemilangan (baca Tetralogi Pulau Buru-nya Pram). Kepada Tirto Adhi Soeryolah dia berguru. Pada tahun 1913, Medan Prijaji yang terbit dengan oplah besar itu bangkrut, lalu diikuti dibuangnya Tirto Adhi Soeryo ke Maluku. Keadaan ini sempat membuat semangat Mas Marco Kartodikromo kendur, tetapi kemudian ia pindah ke Solo dan mendirikan surat kabarnya sendiri, Doenia Bergerak.