Blues Merbabu

Namanya Gitanyali, anak seorang aktifis PKI yang bernama Sutanto Singayuda. Ia terlahir sebagai anak ketiga, kakak pertamanya bernama Tantra Merahbala, konon nama ini “ideologis” sekali, Tantra artinya tentara atawa laskar, sedangkan merah ya merah, sementara bala maksudnya kurang lebih kawanan. Itu disesuaikan dengan ideologi kiri ayahnya, kader komunis. Tantra Merahbala adalah tentara kawanan merah. Kakak nomor dua perempuan bernama Mirah Kencana, karena Sutanto asli seniman merah. Gitanyali sendiri tidak mengandung unsur merah, ibunya khusus yang menyematkan nama untuknya. Ibunya mengira anak yang dikandungnya itu perempuan, maka dipersiapkan nama perempuan. Ternyata laki-laki.

Sebagai anak PKI, Gitanyali (dalam novel ia memakai sebutan aku) dipaksa menerima kehidupannya tidak lagi sama sejak akhir 1965. Ayahnya ditangkap aparat dan tak ada kabar tentangnya, tak lama kemudian gantian ibunya yang ditangkap oleh aparat Kodim setempat. Semasa ayahnya masih ada di sampingnya, Gitanyali dan kakak-kakaknya dididik dengan disiplin tinggi, sehingga tak heran kalau Gitanyali menjadi juara kelas. Tetapi setelah orang tuanya ditangkap aparat semuanya berubah. Kemudian ia diasuh oleh embahnya, sementara kakaknya diasuh oleh saudara dari ibunya yang berasal dari Sunda.

Kenapa Blues Merbabu? Latar belakang cerita dalam novel ini pada sebuah kota di lereng gunung Merbabu. Kota yang digambarkan sangat eksotik, penuh warna bagi para penghuni kota.

Kotaku bak sebuah panggung teater. Bagian paling utama dari panggung ini adalah Jalan Jenderal Sudirman yang memanjang di tengah kota dengan arah utara-selatan. Jarak tapal batas kota di utara dan selatan kira-kira 10 kilometer, sedangkan pusat keramaian berada dalam penggal tengah sekitar satu kilometer saja. Di penggal paling ramai persis di tengah kota berjajar toko-toko, dari toko kain, emas, sepatu, alat-alat tulis, sampai barang kelontong. Penanda utama di pusat keramaian ini adalah bioskop Rex (hal 60).

Dari kecil Gitanyali bergaul dengan kader-kader ayahnya, termasuk Kadarini guru TK Melati. Mbak Kadar – begitu ia memanggil, adalah seorang perempuan cantik dan sempurna dalam pandangan Gitanyali kecil. Ia begitu gembira ketika Mbak Kadar tinggal di rumahnya dan ia bisa tidur dikeloni Mbak Kadar. Gitanyali yang punya hobi mengintip orang mandi, dengan dikeloni Mbak Kadar tersalurlah hasrat libidonya. Ia juga kehilangan Mbak Kadar, ketika Mbak Kadar dicokok aparat.

Selepas sekolah SMP Gitanyali diasuh oleh pamannya di Jakarta. Dunia Gitanyali pun semakin terbuka lebar, termasuk pergaulannya. Ia yang sudah terbiasa menulis di waktu SD ketrampilan menulisnya semakin terasah. Beberapa tulisannya muncul di media massa nasional. Ia menjadi terkenal setelah tulisannya tentang Bali dimuat di sebuah majalah, bahkan saat ia pulang kampung ke Merbabu.

Gaya bertutur dalam novel ini, Gitanyali bercerita kepada Nita seorang gadis 22 tahun yang berprofesi sebagai reporter. Inilah salah satu percakapan Nita dengan Gitanyali (hal 172)

“Om merasa sial sebagai anak PKI?”

“Aku tidak pernah berefleksi merasa sial atau beruntung dengan hidupku. Aku menjalani apa yang bisa kujalani.”

“Tidak pernah merasa ada pengaruh?”

“Pengaruh apa?”

“Pengaruh sebagai anak PKI tadi …”

“Pengaruh ideologi?” tanyaku.

Meski tampak agak bingung, Nita mengangguk.

“Aku tidak pernah membaca doktrin Marx atau Lenin. Semasa kecil aku membaca Winettou, komik-komik roman, bacaan porno berbentuk stensilan, menyukai Window of the World, Reader’s Digest, tak bisa melupakan Butch Cassidy and the Sundance Kid, The Graduate…”

“Jadi apa itu komunisme?”

“Kamu seharusnya dulu tanya Soeharto, Sudomo, atau siapa saja yang antikomunis. Yang komunis membaca Marx dan Lenin. Yang antikomunis memahami Marx dan Lenin. Aku bukan dua-duanya. Kalau kamu bertanya kapan Estee Lauder menciptakan produk pertamanya mungkin aku bisa menjawab…”

“Om komunis mall atau kapitalis?”

“Tak ada bedanya. Di bawah kapitalisme, orang mengeksploitasi orang. Komunisme, tinggal dibalik saja..”

Nita tertawa tergelak-gelak.

~oOo~

Nita pun mengajak Gitanyali ke Salatiga. Kota di lereng Merbabu itu sudah berubah, tidak sejuk lagi, lalu lintas semrawut dan tidak ada lagi bioskop Rex, bangunan Kodim yang dulu sudah dirobohkan menjadi restoran KFC dan bukit-bukit telah dikepras jadi perumahan. Tetapi Toko Kita masih ada, sebuah toko milik gadis Cina sahabat karib Gitanyali yang rajin menulis di buku harian di masa kecilnya dulu. Gitanyali tidak betah dan mengajak Nita untuk segera kembali ke Jakarta. Tetapi oleh Nita, ia diajak mampir di sebuah kampung di sudut Semarang. Tanpa diketahui oleh Gitanyali, Nita mengajak ke rumah Mbak Kadar. Apa yang terjadi? Apakah Mbak kadar masih cantik? Apakah Mbak Kadar masih ingat Gitanyali? Baca saja deh buku Blues Merbabu karya Gitanyali, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (Pebruari 2011). Dijamin, buku setebal 186 halaman ini akan habis terbaca dalam satu dudukan.