Humaira dan Kilatan Pedang Tuhan

Setelah selesai memberikan materi pengajian, Ustadz Zaen membuka tas hitam yang lumayan besar. Tas dagangan. Isinya buku-buku keislaman. Ya, di sela-sela pengajian yang ia isi ia selalu menyempatkan berjualan buku. Lumayan, hasilnya bisa membuat dapur rumahnya selalu ngebul.

“Nih, ikhwan-akhwat, saya membawa dua buku karangan Kamran Pasha, Humaria – Ibunda Orang Beriman dan Kilatan Pedang Tuhan.”

Segera saja kedua buku tersebut jadi rebutan peserta pengajian yang masih belum meninggalkan tempat. Ustadz Zaen tersenyum menyaksikan polah santri-santrinya itu.

“Kamran Pasha selain sebagai pakar Timur Tengah, ia juga seorang penulis skenario dan sutradara muslim yang menjadi tokoh berpengaruh di industri film kelas dunia,” kata Ustadz Zaen ketika ada yang bertanya siapa Kamran Pasha.

“Tadz, boleh dong dibocorin dikit aja isi buku Humaira ini.”

“Baiklah. Empat belas abad silam, di tengah gurun pasir Arabia, seorang nabi diturunkan: Muhammad sang terpuji. Saat pencerahannya menyapu seluruh Jazirah Arab dan menyatukan suku-suku yang bertikai, istri kesayangannya, Aisyah binti Abu Bakar yang berjuluk Humaira – yang berwajah kemerahan – mengisahkan kesaksiannya atas perubahan Muhammad dari seorang nabi menjadi salah satu negarawan paling berpengaruh di dunia. Namun, tak lama setelah momen puncak kemenangan sang Nabi, beliau jatuh sakit dan wafat dalam pelukan sang Humaira. Sebagai seorang janda muda yang dihormati, Aisyah menemukan dirinya berada di pusat imperium muslim yang baru terbentuk dan kemudian beralih peran sebagai seorang guru bangsa, pemimpin politik, dan bahkan panglima perang. Coba siapa yang pegang buku Humaria, tolong bacakan halaman 12!”

Takdirku adalah menjadi ibunda bagi sebuah bangsa meski rahimku tak pernah melahirkan anakku sendiri. Sebuah bangsa yang dipilih Tuhan untuk mengubah dunia, untuk menghancurkan ketidakadilan, meski ketidakadilan itu berupaya mengalahkannya. Sebuah bangsa yang menaklukkan setiap musuhnya meski seluruh kekuatan di dunia bergabung untuk melawannya lalu hancur dan berjuang bagi dirinya sendiri di Hari Kebangkitan. Sebuah bangsa yang jiwanya, sama seperti jiwaku, berserah kepada Tuhan, tapi termakan oleh nafsu duniawi. Sebuah bangsa yang berdiri di atas kemenangan dan keadilan, tetapi tidak dapat menyembunyikan kegagalan dan kekejamannya sendiri dari penghakiman Zat yang Mahatunggal. Inilah ummah-ku, bangsaku, dan aku adalah wajahnya meski tak seorang pria di luar keluargaku yang pernah memandang wajahku sejak aku masih gadis kecil. Aku adalah penanda akan kesenangan dan kemurkaan. Ratu dari cinta dan kecemburuan. Pembawa pengetahuan sekaligus orang yang benar-benar bodoh. Akulah ibunda orang beriman.

“Nah, kisahnya bisa kalian baca di buku yang diterbitkan oleh Penerbit Zaman tahun 2010 ini,” tukas Ustadz Zaen setengah berpromosi. “Oh iya, buku ini tebalnya 616 halaman.”

Terdengar suara dari shaf belakang, “Hmm… aku naksir buku Kilatan Pedang Tuhan deh. Ini novel tentang Perang Salib!”

Ustadz Zaen tersenyum mendengar celetukan tersebut dan menimpali dengan sebuah kalimat, “Konon, Tuhan menyukai ironi. Betapa tidak, Yerusalem yang bermakna perdamaian justru menjadi tanah yang penuh pertumpahan darah!”

“Oh, ternyata Perang Salib terjadi di tanah Yerusalem toh,” kata santri si penaksir buku.

“Tapi, Sultan Shalahuddin ibn Ayyub mencoba mengatasi ironi itu. Terbukti di bawah pemerintahannya Yerusalem kembali menjelma menjadi tanah perdamaian dan persemaian kekeluargaan antara Islam, Yahudi, dan Kristen,” timpal Ustadz Zaen.

“Sebentar Ustadz. Ini saya bacakan resume novel ini ya?” kata si penaksir buku.

“Silakan…,” jawab Ustadz Zaen, singkat.

“Sampai kemudian datang pasukan Raja Richard si Hati Singa. Saat itulah takdir mempertemukan Shalahuddin dan Richard dalam konflik yang masih bergaung hingga hari ini: Perang Salib Ketiga. Dan di tengah-tengah perang yang brutal dan mengerikan itu, Shalahuddin menemukan kenyamanan cinta di pelukan Mariam, seorang wanita Yahudi ayu nan elok namun memiliki masa lalu yang tragis. Rupanya Raja Richard juga mencintai wanita Yahudi ayu itu. Hmm.. kira-kira Shalahuddin berhasil tidak ya mengatasi ironi itu atawa malah terjerembab ke dalamnya?”

“Makanya, cepetan kamu beli bukunya!” ledek temannya.

“Mahal nggak ya? Soalnya tebal bukunya saja 578 halaman,” kata si penaksir buku lagi, “penerbitnya juga Penerbit Zaman, tapi di tahun 2011 ini. Tadz, beli bukunya boleh dicicil nggak?”

Ustadz Zaen hanya tersenyum. Seperti biasanya.
 
____________
 
Note: Kisah Ustadz Zaen di atas terinspirasi dari Ustadz Didik P berkisar tahun 1990-an yang rutin memberikan materi pengajian anak-anak Geografi di Jumat pagi di Klebengan Yogyakarta.