Literatur Cerita Wayang

Saya tidak ingat persis kapan pertama kali bapak saya mengenalkan wayang kepada saya. Pernah beberapa kali saya diajak nonton wayang orang Sriwedari yang saat itu masih jaya-jayanya. Di rumah, bapak mempunyai beberapa kaset wayang, yang kalau ia menyetelnya saya ikut mendengarkan. Yang masih saya ingat, lakonnya berjudul Petruk Dadi Ratu dan Petruk Mantu, cerita wayang yang tidak terdapat dalam kisah Mahabharata.

Selain nonton wayang orang, pengalaman nonton wayang kulit juga saya alami. Dulu, ketika orang punya hajat – entah mantu atawa sunatan, beberapa di antaranya nanggap wayang kulit semalam suntuk. Saya paling suka adegan Limbuk-Cangik dan Goro-goro/munculnya Punakawan. Sampai dengan saat kuliah, paling tidak saat Dies Natalis UGM selalu nanggap wayang kulit yang digelar di sekitar Bunderan UGM. Entah saat ini tradisi itu masih ada atawa tidak.

Supaya ingatan saya tentang cerita wayang tetap terjaga, saya membaca beberapa buku tentang pewayangan, setidaknya ada lima buku yang tersimpan di Ruang Buku Padeblogan, mereka sebagai referensi utama saya ketika menceritakan kembali kisah wayang di WayangSlenco Padeblogan.

Judul: Ramayana • Penulis: RK Narayan • Penerbit: Bentang (2004) • Tebal: 236 halaman.

Buku ini hasil terjemahan Nin Bakdi Soemanto dari judul asli The Ramayana. Walmiki si penyair itu menjelaskan kepada Rama sendiri: “Berkat kebesaran namamu, aku menjadi seorang resi, yang mampu melihat masa lalu, masa sekarang dan masa depan sebagai satu. Dulu aku belum tahu kisahmu. Suatu hari Resi Narada mengunjungiku, aku bertanya kepadanya, “Siapakah lelaki sempurna – yang memiliki kekuatan, sadar akan kewajiban, jujur sejujur-jujurnya, teguh melaksanakan sumpah, penuh kasih saying, terpelajar, menawan hati, percaya diri, kuat, tidak terpengaruh oleh amarah dan iri hati, namun amat mengerikan kalau terbangkitkan amarahnya? Narada menjawab, “Kombinasu sifat semacam itu dalam diri satu orang biasanya jarang sekali, tetapi seperti itulah orang yang namanya sudah kau kuasai, yakni Rama. Ia lahir dalam ras Ikhshwahu putra Raja Dasarata…” Dan Narada menceritakan kisah Rama.

Dalam buku yang terilhami oleh karya pujangga Tamil abad ke 11 yang bernama Kamban ini, Narayan menggunakan seluruh talentanya sebagai pakar penulis novel untuk menyajikan kembali kegairahan dan kenikmatan yang ia temukan dalam karya asli Kamban. Menurut Narayan, karya ini dapat dinikmati dan diapresiasi dari segi wawasan psikologisnya, kedalaman spiritual dan nilai-nilai kearifan praktisnya – atau sekedar sebagai sebuah kisah penculikan, pertempuran dan percintaan yang mendebarkan dengan latar sebuah semesta penuh ksatria, dewa dan makhluk jahat.

~oOo~

Judul: Mahabharata • Penulis: C. Rajagopalachari • Penerjemah: Yudhi Murtanto • Penerbit: IRCiSoD (2008) • Tebal: 521 halaman.

Mahabharata edisi asli ini lebih sekedar epik, ini adalah roman yang menceritakan kisah laki-laki dan perempuan heroik serta beberapa tokoh luar biasa. Karya ini mengandung seni sastra dalam dirinya sendiri dan rahasia hidup sejati: filsafat sosial dan hubungan etik, serta pemikiran pokok tentang masalah-masalah manusia yang sulit dicari padanannya.

Begawan Wiyasa, pengarang kitab Weda yang masyhur itu adalah anak Resi Parasana. Wiyasalah yang memberikan epos besar Mahabharata pada dunia. Setelah selesai merumuskan Mahabharata, Begawan Wiyasa memikirkan cara untuk menyampaikan kisah suci ini pada dunia. Ia berdoa kepada Dewa Brahma, dewa pencipta. Dewa Brahma segera muncul di hadapannya. Ia memberikan salam hormat dengan menundukkan kepala, menyembah, dan mengajukan permohonan:

“Dewa, saya telah menyelesaikan sebuah karya yang sangat baik, tapi tidak dapat menemukan orang yang dapat menuliskannya sementara saya mendiktekan cerita ini.”

Dewa Brahma memuji Wiyasa dan berkata, “Resi Wiyasa, undang dan mintalah Ganapati untuk membantumu menuliskan cerita ini.” Setelah itu Dewa Brahma menghilang. Wiyasa bersemadi mengundang Ganapati, yang segera muncul di hadapannya. Wiyasa menyambutnya dengan hormat dan meminta bantuan Ganapati.

“Wahai Ganapati, saya akan mendiktekan kisah Mahabharata dan saya mohon Anda berkenan menuliskannya.”

Ganapati menjawab, “Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau minta. Tapi dengan satu syarat, yakni, penaku tidak boleh berhenti saat aku sedang menuliskannya. Sehingga, kau harus mendikte tanpa jeda atau keraguan. Aku hanya dapat menulis dengan syarat ini.”

~oOo~

Judul: Mahabharata • Penulis: Nyoman S. Pendit • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2004) •  Tebal: 389 halaman

Mahabharata sebagai wiracarita atawa cerita kepahlawanan dikisahkan kembali oleh Nyoman S. Pendit dengan bahasa yang sederhana, lebih bisa dipahami dan dinikmati oleh generasi sekarang. Dalam versi ini, Nyoman S. Pendit tak ingin jauh-jauh meninggalkan tanah kelahiran Mahabharata yaitu India, sehingga penggambaran suasana India dalam epos ini terasa begitu kental. Kecuali itu, penulis menyajikan episode-episode secara runtut, dimulai dengan munculnya tokoh Bharata sampai keturunannya yang berkembang menjadi sebuah wangsa yang besar, hingga Pandawa moksa. Dua keturunan Bharata yang termasyhur yaitu Kurawa dan Pandawa, akhirnya berperang dalam perang besar Bharatayuda untuk memperebutkan kekuasaan. Mahabharata versi Nyoman S. Pendit ini disajikan dalam lima puluh lima bagian cerita.

~oOo~

Judul: Ensiklopedia Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya • Penulis: Mahendra Sucipto • Penerbit: Narasi (2010) • Tebal: 447 halaman

Seni pagelaran wayang merupakan salah satu seni budaya klasik bangsa Indonesia.  Menyaksikan pagelaran wayang sama artinya dengan bercermin diri karena masalah-masalah yang tersirat dalam lakon pewayangan seperti refleksi kehidupan manusia sehari-hari. Buku ini berisi sekumpulan gambar (bentuk wayang kulit) tokoh wayang baik dari kisah Ramayana maupun Mahabharata yang disertai penjelasan profil singkat mereka.

~oOo~

Judul: Ensiklopedi Wayang • Penulis: Djoko Dwiyanto, dkk • Penerbit: Media Abadi (2010) • Tebal: 647 halaman.

Wayang mempunyai arti yang sangat mendalam baik filosofi maupun arti fisiknya. Oleh Sunan Kalijaga dan Raden Patah diatur dan dikembangkan sedemikian rupa menjadi tiga bagian, pertama wayang kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong (orang) di Jawa Tengah dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing-masing berkaitan satu dengan yang lain yaitu mana yang isi (Wayang Wong) dan mana yang kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek). Kalau ditinjau dari arti filsafatnya wayang yang berarti bayangan merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada di dalam jiwa manusia seperti angkara murka, kebajikan, serakah, dan lain-lain. Buku ini cukup lengkap membahas wayang, tidak melulu pada tokoh-tokohnya saja tetapi juga kisah yang menyertainya, kerajaannya, istilah dalam pagelaran wayang, bahasa pedalangan, dan sebagainya.