Perjalanan Laksamana Ceng Ho ke Nusantara

Demikian, di depan khalayak ramai, sebagian besar orang-orang Cina dari pelbagai agama khas Cina yang Han San Wei Yi serta orang-orang Cina yang muslim serta pribumi yang beragam warna agama juga antara Hindu, Buddha, dan Kejawen, serta juga para mualaf, berkata Ceng Ho yang berdiri di atas sebuah bangku, “Saudara-saudara sekalian. Apa yang baru saja terjadi ini sama sekali bukan persoalan agama kita yang berbeda-beda. Walaupun konon makhluk yang muncul tadi itu meneriakkan sentiment perbedaan ras dan perbedaan agama, percayalah, bahwa sudah sejak dulunya kita berbeda, dan dalam perbedaan itu kita tetap rukun. Maka jangan terpancing.”

Khalayak terbengong. Ada yang melirik ke sebelah kanan atau kirinya, kira-kira hendak mengeladau akan reaksinya masing-masing mendengar pokok pikiran Ceng Ho tersebut. Ada pula yang hanya diam menyerap ijmal petuah Ceng Ho itu.

“Kita semua, sebagai manusia, sama di hadirat Ilahi,” kata Ceng Ho meneruskan petuahnya. “Oleh karena kita sama belaka, maka patutlah kita menggalang persudaraan sejati, persaudaraan tulen, dan toleransi antarsesama;

“Orang Cina harus menganggap pribumi sebagai saudaranya. Karena itu orang Cina pun harus tahu diri di negeri perantauan milik nenek moyang pribumi ini.

“Kita harus tenggang rasa. Kalau kita merasa lebih, berikan kelebihan kita kepada yang kekurangan. Kalau kita merasa lebih mengetahui, berikan pengetahuan kita kepada yang belum berpengetahuan. Tapi, kalau kita merasa tidak mengetahui, bertanyalah kepada pribumi yang lebih mengetahui. Hanya dengan begitu kita melakukan suatu lintas budaya dan lintas adab yang sesungguhnya;

“Apa sebetulnya inti suatu lintas budaya? Jawabnya tidak lain adalah tanggung jawab insane kepada kerahmanan kerahiman Ilahi. Dasarnya adalah, siapa yang memiliki ilmu wajiblah ia mengamalkannya kepada umat manusia;

“Di satu pihak barangkali orang Cina merasa diri sebagai kakak terhadap pribumi. Tapi, pasti juga, di lain pihak orang Cina akan menjadi adik pribumi. Ini merupakan prinsip tersendiri pula dalam lintas budaya dan lintas adab tersebut;

“Saya ingin menandaskan kepada Saudara-saudara semua, bahwa hanya dengan sikap senasib-sepenanggungan, sejalan-setujuan, dan berat sama dipikul ringan sama dijinjing, maka persaudaraan yang sejati itu dapat dicapai;

“Sebagai orang yang percaya hanya kepada satu Allah, saya ingin berkata kepada Saudara-saudara semua – orang-orang Cina dari segala latar belakang agama masing-masing – bahwa Islam adalah mencari teman, bukan mencari musuh. Demikian Islam di Jawa ini haruslah berpedoman pada nala-qariin (berhubungan dengan bahasa Arab, artinya ‘mencari teman’, suatu konsep syiar yang dilakukan oleh Wali Sembilan di Jawa, kemudian diekspresikan dalam sosok wayang, punakawan Nolo Gareng). Yaitu, menjadikan semua orang semua teman di atas landasan hibat atau kasih sayang. Ini merupakan iktibar yang asasi akan kemanusiaan yang berketuhanan;

“Sudah tentu, jika ada pihak, siapa saja, yang menolak tawaran hibat atau kasih sayang itu, maka boleh jadi kita akan memikirkan sikap bagha (juga berkaitan dengan konsep syiar yang dilakukan oleh Wali Sembilan, kemudian diekspresikan dalam sosok punakawan Bagong) yang tepat sebagai jawaban, tanggung jawab orang berkepercayaan terhadap orang yang tiada berkepercayaan. Hal ini sudah tentu merupakan pilihan akhir terhadap orang yang bukan saja menolak, tapi juga mengacau, seperti pengacau yang baru saja melakukan kejahatan kemanusiaan di sini tadi;

“Mengapa kita harus bersikap bagha terhadapnya? Sebab dia harus kita anggap sebagai perpanjangan tangan setan atau iblis, atau katakanlah, anak sulung iblis. Jadi, tak pelak, musuh kita itu, yang harus kita sikapi dengan bagha, adalah iblis dan setan belaka. Setan atau iblis itulah yang telah memperalat medium melalui jiwa dan raga manusia yang tadi mengacau itu. Makanya, kita harus bersatu untuk bagha, untuk melawan kekuasaan setan atau iblis jahanam itu;

“Nah, saya ingin bertanya sekarang kepada Saudara-saudara semua di sini. Sanggupkah Saudara-saudara, kita semua, Anda dan saya, bersatu-padu melawan satu-satunya musuh umat manusia, yaitu setan atau iblis yang mengacau dan mencabik-cabik kerukunan?”

Khalayak itu menjawab serempak dengan yakin, “Sangguuup!”

Ceng Ho puas. “Bagus,” katanya. “Alangkah indahnya kerukunan. Alangkah mujarabnya perasaan hibat atau kasih sayang. Adalah Allah sendiri pula yang maha pengasih dan maha penyayang.”

~oOo~

Menurut pengamatan saya, cuplikan di atas adalah kalimat terpanjang yang diucapkan Ceng Ho dalam buku Sam Po Kong – Perjalanan Pertama halaman 423-425 karya Remy Sylado. Novel setebal 1111 halaman ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2004). Sam Po Kong adalah tokoh besar abad ke-15 yang melaksanakan tugas perjalanan muhibah Ming ke negeri selatan dan barat sebanyak tujuh kali dengan kapalnya yang luar biasa besarnya. Kenapa menyebut novel ini sebagai perjalanan pertama? Sebetulnya banyak episode dalam novel ini secara sejarah tidak berlangsung dalam perjalanan pertama melainkan dalam perjalanan yang lain. Pilihan untuk menghadirkan itu dalam perjalanan pertama, semata-mata ditimbang dari sudut kerangka prosa dengan menitikberatkan pada kerangka perlintasan budaya tersebut. Yang diutarakan di situ adalah bagaimana banyak masalah yang dihadapi Ceng Ho itu dapat diselesaikan dengan baik. Sudah tentu, dalam perjalanan yang lain, ada pula masalah-masalah yang dihadapinya dan diselesaikannya dengan baik.