Pulang

Menjelang waktu dhuha. Tidak lama kemudian, dokter keluar dari ruang IGD, aku segera berdiri dan menghampirinya.

“Tuan Ikram, istri Anda harus segera dioperasi, kanker itu sudah menjalar ke mana-mana. Ini untuk kebaikan istri Anda, tentunya.”

“Lakukan yang terbaik, dokter,” aku menjawab dengan pasrah.

“Kami segera menyiapkan ruangan operasi dan silakan Anda tanda tangani surat persetujuan operasi di sini”, aku mengikuti langkah-langkah dokter menuju ruang administrasi.

Dalam hitungan detik, aku menandatangani persetujuan operasi yang akan menjadi tangan takdir Tuhan akan apa yang akan terjadi pada istriku.

Perawat dengan sigap memindahkan istriku untuk menuju ruang operasi. Aku segera mendekati istriku, yang terbaring lemah, tetapi ia berusaha untuk tersenyum.

“Mas, aku harus menjalani operasi. Aku pamit ya, mohon doa restumu sebelum aku masuk ruang operasi,” suara istriku terdengar parau. Aku mengangguk, tanganku diraih dan diciumnya dengan khidmat. Meskipun aku merasa bahwa diriku adalah lelaki tangguh yang telah menemaninya selama 53 tahun yang jarang menangis, tak ayal beberapa bulir air mataku jatuh membasahi pipiku.

“Sayang, berjanjilah kamu akan bangun kembali untukku, untuk anak-anakmu dan untuk cucu-cucumu,” aku berkata sambil menggenggam erat tangannya. Ia tersenyum.

“Insya Allah, jika Dia mengizinkan aku masih ingin hidup untuk menjadi istrimu hingga sepuluh, dua puluh bahkan seribu tahun dari sekarang. Tetapi andai takdir kita sampai di sini, aku tetap berbahagia karena aku meninggal saat masih menjadi istrimu,” istriku berusaha tegar.

Aku mengecup kening dan bibirnya. Kemudian beberapa perawat membawa istriku masuk ruang operasi, dan air mataku kembali jatuh. Ketakutan terbesarku adalah kehilangan istriku. Aku tak mampu membayangkan bagaimana menjalani hari-hari tuaku tanpa kehadirannya, meskipun anak dan cucuku sering menjenguk kami.

Hampir dua jam aku duduk di depan ruang operasi, ditemani oleh anak-anakku yang mulai berdatangan ke rumah sakit. Mulutku tak henti-hentinya merapalkan doa dan dzikir. Penantian itu terasa sangat panjang dan lama, bagai menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Tetapi, penantian memang selalu memiliki akhir, ketika dokter membuka pintu ruang operasi. Kami berhamburan menghampiri dokter.

“Tuan Ikram, kami sudah berusaha keras menyelamatkan istri Anda. Sekarang istri Anda dalam kondisi kritis, kami akan segera memindahkan ke ICU” dokter menjelaskan kepada kami.

Aku mengangguk dan kembali ke tempat duduk, kakiku terasa lemas. Perasaan campur aduk berkecamuk di dadaku. Aku merasa kesepian di tengah kerumunan ketujuh anak-anakku.

Istriku dibawa ke ruang ICU, dan kami mengikutinya. Ketika di ruang ICU, istriku mencoba mengajakku bicara, “Rasanya aku tidak kuat lagi, mas!”

“Sudahlah, jangan banyak bicara dulu kamu akan segera membaik. Insya Allah, kamu akan segera sembuh dan kita akan pulang ke rumah” aku menghiburnya.

“Aku…,” kata istriku pelan, “…. berjanjilah kepadaku mas”.

“Baiklah..,” aku semakin tidak kuasa menahan air mataku, kupegang tangan istriku, “..janji apa yang kamu minta?”

“Rawatlah anak dan cucu kita. Ada di antara mereka yang belum bisa mandiri dalam kehidupannya. Katakanlah mas..”

“Iya istriku sayang, aku berjanji untuk merawat mereka,” suaraku tercekat di kerongkongan.

Kedua tangan istriku terangkat, aku segera menggenggam dengan kedua tanganku.

“Aku..sangat mencintaimu mas…” kata istriku.

“Aku juga mencintaimu … mencintaimu dengan segenap hatiku.”

“Terima kasih untuk semua hal yang indah yang kita lalui, mas”  istriku tersenyum meskipun tampak di wajahnya ia menahan rasa sakit. Aku merasa waktunya sudah dekat.

“Baiklah…, “ aku memulai inisiatif mengajak istriku itu bicara, “..ikuti aku. Ikuti ucapanku.. laa ilaaha ilallaah.”

Istriku mengikuti kalimat itu dengan nafas yang semakin tersengal. Kemudian kami diam sejenak. Istriku menatapku dengan tatapan yang tak dapat dilukiskan dengan ribuan kata dan kalimat. Perlahan, mata indah istriku tertutup. Tangis anak-anakku pecah, memeluk jasad ibu tercintanya. Di sudut ruang, aku terduduk lemas, menahan tangis.