Di waktu kecil dulu, kami menyebutnya pitrah. Habis shalat ied, orang-orang masih belum berlebaran, pada masih di rumah. Baju baru belum juga dikenakan. Tak ada tamu yang datang, hanya kerabat dekat saja yang sudah datang dari perantauan. Pada hari kedua lebaran, kesibukan dan keramaian mulai menghiasi di setiap sudut kampung, dari rumah ke rumah untuk saling beranjang-sana, bersilaturahim untuk bermaaf-maafan.
Di meja tamu di rumah yang dikunjungi hampir sama yang tersaji: madu mongso, tape ketan, kacang bawang, apem, rengginang, dan cemilan paling modern adalah biskuit kong huan.
Kami yang masih kanak-kanak ikut larut dalam kegembiraan lebaran, berbaju baru dan berburu pitrah! Ya, sehabis sungkeman atawa bersalaman dengan mbah uti/mbah kung, pakde/bude, paklik/bulik hati kami harap-harap cemas menunggu kucuran pitrah. Pemberian uang receh yang masih baru dari mereka menjadi dambaan kami. Itulah yang disebut dengan pitrah. Saat itu rasanya kami menjadi orang yang kaya raya!
Seingat saya, pitrah yang paling besar yang pernah saya terima berupa keping uang seratusan (tipis) bergambar rumah gadang/gunungan wayang.
Nanti, hasil pendapatan pitrah dibandingkan dengan teman-teman – siapa mendapatkan berapa – lalu pitrah yang terkumpul digunakan untuk membeli aneka mainan atawa buku tulis.
~oOo~
Setelah saya bekerja, gantian saya yang memberikan pitrah. Bukan berupa uang logam, tapi lembaran uang baru. Semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin besar nilai pitrah yang diberikan. Sekarang, uang pitrah yang dibagi ke anak-anak minimal lembaran 2000, tidak berupa uang koin lagi.
Memang jamannya begitu.
Lebaran juga menjadi berkah bagi Kika dan Lila. Mereka juga mendapatkan pitrah, yang sama persis jumlahnya.