Cerita ringan (tentang) mudik

Melihat dan mempertimbangan posisi libur lebaran tahun ini, mudik saya lakukan pas hari H selepas shalat ied di mesjid perumahan. Mudik pas hari H bukan pertama kali saya lakukan. Puasa bisa saya lakukan secara sebulan penuh tanpa jebol – karena jika mudik masih di bulan puasa, biasanya puasa saya batalkan dengan mengambil dispensasi yang diberikan oleh Gusti Allah, sebagai seorang musafir.

Habis shalat ied bisa berkesempatan bersilaturahim terlebih dulu dengan para tetangga. Setelah urusan beres, berangkat mudik. Packing sudah disiapkan malam harinya, sehingga pagi hari tinggal lepas landas.

Hmm… mudik pas hari H tahun ini sangat beda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang sangat lancar karena jalan jalur mudik relatif lengang. Namun, mudik kemarin jalanan sangat ramai, banyak orang yang mudik di hari itu – meskipun jumlah pemudik motor hanya segelintir. Beberapa titik di jalur Pantura macet atawa tersendat, terutama ketika kendaraan akan mampir ke SPBU. Di simpang-simpang jalan banyak lalu-lalang masyarakat yang bersilaturahim kepada kerabatnya. Di beberapa pemakaman di sepanjang Pantura juga cukup ramai oleh peziarah.

~oOo~

Lain dulu lain sekarang. Usia seseorang memang nggak bisa menipu. Dulu saya sering was-wus melesat di Pantura, tetapi ketika umur semangkin tuwir, fisik nggak kuat lagi. Untuk menempuh jarak 100 km saja, mesti istirahat dua kali. Apalagi dalam situasi macet seperti itu, tubuh semakin mudah capek.

Perjalanan sepanjang 515 km kemarin saya tempuh dalam waktu 22 jam! Meskipun lama, tapi kondisi kami tetap segar-bugar karena kami cukup tidur di sepanjang perjalanan tersebut. Bahkan di sebuah SPBU di wilayah Kendal, saya pijat-pegal pada tukang pijat yang mangkal di SPBU itu.

~oOo~

Sesungguhnya, mudik adalah tanda bekti pada orang tua dan leluhur. Acara pokok mudik ya sungkem kepada orang tua atawa para sepuh dan pini-sepuh, bersilaturahim kepada kerabat, dan juga nyekar ke makam. Tambahan acara mudik saya kemarin adalah reuni kecil dengan teman-teman IPA3 di mana DR. Warsito juga hadir, keliling ke beberapa fakultas di Kampus UGM yang ditaksir oleh Kika – semoga ia dapat kuliah di salah satu fakultasnya. Dan yang tak kalah serunya, kunjungan ke Candi Sukuh dan Candi Cetho – keduanya di tlatah Karanganyar yang jaraknya hanya sepelemparan sandal dari rumah saya di waktu kecil. Masing-masing acara akan saya ceritakan nanti.

~oOo~

Semalam saya sudah kembali ke rumah, setelah menempuh perjalanan 19 jam dari Solo. Perjalanan Solo – Kendal lancar, mulai Batang hingga Brebes padat merayap. Masuk tol Pejagan Brebes jam 17.00 (kalau normal sekitar jam 12.00-an), saya tidak meneruskan via jalur Pantura tapi melewati jalur tengah: Palimanan – Kadipaten – Cikamurang – Subang – Sadang – Karawang. Ruas Cikamurang – Subang lancar sentosa, kecepatan bisa ke angka 100 km/jam, jalan mulus sih. Tetapi begitu masuk kota Subang kondisi lalu-lintas padat merayap. Kalijati sampai Karawang kembali lancar. Lewat jalur tengah ini, jarak tempuh Solo-Karawang cuma beda dikit: 519 km.

Kata berita di tipi, semalam jalur Pantura sangat padat. Mungkin kalau semalam saya melewati jalur tersebut, saya masih di jalan, bisa-bisa cerita Solo-Cikampek 30 jam terulang kembali. Terkantuk-kantuk atawa bahkan tertidur di pinggir jalan.