Pitaloka dan Niskala Musuh Gajah Mada

Judul : Dyah Pitaloka • Penulis : Hermawan Aksan • Penerbit : Bentang, 2007 • Tebal : viii + 326 halaman

Gajah Mada tidak ingin Kerajaan Sunda menjadi kerikil dalam Kerajaan Majapahit. Untuk melengkapi keberhasilannya menyatukan Nusantara, Majapahit harus menaklukkan Sunda. Jika kekuatan angkatan perang tidak mungkin, cara lainnya adalah melalui pernikahan.

Pernikahan Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk, Raja Majapahit bagi Gajah Mada bukanlah perkawinan antara seorang raja dengan putri, melainkan penyerahan upeti sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada melalui Sumpah Palapanya telah mengukuhkan simbol dirinya sebagai sosok patih yang ambisius.

Ambisinya itu tidak hanya meluluhlantakkan Kerajaan Sunda, juga dirinya sendiri. Pahlawan terbesar sepanjang sejarah Majapahit itu, orang yang pertama kali menyatukan seluruh Nusantara akhirnya menjadi buronan negerinya sendiri. Nama besarnya runtuh karena hanya mementingkan ambisi dan mengabaikan sesuatu yang tak kalah besar : cinta!

Judul : Niskala – Gajah Mada Musuhku • Penulis : Hermawan Aksan • Penerbit : Bentang, 2008 • Tebal : 289 halaman

Novel ini menceritakan perjalanan Anggalarang, adik Dyah Pitaloka ke Majapahit untuk membunuh Gajah Mada. Anggalarang masih ingat dengan jelas, seakan-akan baru terjadi kemarin atau kemarinnya dulu tatkala wajah kakaknya Dyah Pitaloka memancarkan cahaya gemilang untuk menjemput kebahagiaan di tanah Jawa. Putri kesayangan Kerajaan Sunda itu siap bersanding dengan raja besar, raja terbesar dari Majapahit. Putri tercantik bersanding dengan raja muda paling berwibawa, bukankah tak ada kebahagiaan yang bisa melebihinya?

Anggalarang adalah putra satu-satunya Prabu Maharaja, satu-satunya ahli waris tahta Kerajaan Sunda. Dendam kesumat Anggalarang untuk membunuh Gajah Mada dilatarbelakangi gugurnya ayah, ibu, kakak serta orang-orang terbaik Kerajaan Sunda di Bubat.

Anggalarang masih membopong Gajah Mada masuk pura. Hati-hati direbahkannya tubuh Gajah Mada di atas dipan kayu. Ia pandangi tubuh tak berdaya itu.

“Kenapa tak kau bunuh aku, anak muda?” tanyanya dengan suara seakan-akan keluar dari perutnya.

Anggalarang berdebar. Ditatapnya lekat wajah keriput Gajah Mada. Apakah ia tahu siapa dirinya? Anggalarang bertanya-tanya.

Saya yang terbiasa dicekoki cerita Perang Bubat versi Jawa, membaca kedua novel ini mendapatkan sesuatu yang baru, paling tidak cerita Perang Bubat dari sudut pandang orang Sunda. Saya paham, kenapa orang Sunda begitu membenci Gajah Mada dan Majapahit. Bahkan saking bencinya, di tatar Sunda tidak akan ditemukan jalan dengan nama Jl. Gajah Mada atau Jl. Majapahit.

Seseorang yang disebut pahlawan belum tentu orang lain menyebutnya pahlawan juga. Gajah Mada pahlawan bagi Majapahit, tetapi penjahat besar bagi Kerajaan Sunda.