Begitu mobil kami memasuki jalan tol dalam kota Jakarta, terjadi perdebatan seru. Lewat jalur mana untuk ke Pulau Tidung, sebuah pulau berpenghuni di gugusan Kepulauan Seribu? Wisata Bahari ini banyak dinikmati warga.
Ada yang usul lewat Muara Angke, di mana di sana terdapat kapal-kapal kayu bermotor berlantai dua yang siap menyeberangkan pengunjung ke Pulau Tidung. Tapi waktunya cukup nggak untuk menuju ke sana? Kalau nggak salah, kapal berangkat jam enam pagi. Akhirnya disepakati melalui Marina Ancol.
Sampai di Ancol, KM Kerapu sudah berangkat. Terpaksa menyewa speedboat, deh. Bisa dihitung berapa ongkos untuk 9 orang, bukan? Tapi demi menginjakkan kaki ke Pulau Tidung, masing-masing urunan lima ratus ribuan oke-oke saja.
Aku mencari posisi yang paling enak di dalam speedboat. Maklum, aku kan mabukan laut. Begitu hoek-hoek, tinggal mengarahkan mulut ke permukaan laut. Untungnya, perjalanan kurang lebih satu jam pagi itu lancar jaya. Sstt… sebelumnya aku sudah minum antimo, kok. Horee…. akhirnya aku injakkan kaki di Pulau Tidung. Aku hirup udara sedalam-dalamnya.
Kami langsung sarapan meski agak siangan, di sebuah homestay. Setelah itu, masing-masing orang punya acara sendiri-sendiri. Aku hapalkan posisi dan nomor rumah yang disewakan jadi homestay, maklum di Pulau Tidung tak ada nama jalan. Satu petunjuk aku hapalkan, biar saat pulang jalan-jalan nanti nggak kesasar.
Pulau Tidung berpantai putih dan lautnya bening. Sungguh, aku ingin berenang. Tapi ada daya aku tak punya sedikit pun ilmu tentang renang. Aku hanya bermain-main di pantainya.
Hoi… aku melihat sekumpulan sepeda di pinggir pantai. O, sepeda-sepeda itu rupanya disewakan. Aku ambil satu sepeda.
Pelan-pelan aku kayuh sepeda itu sambil memandangi indahnya pantai. Aku melewati sebuah titian yang disebut orang sebagai Jembatan Cinta. Di kejauhan aku melihat banana boat yang ditumpangi orang sambil berteriak kegirangan. Aku cuma bisa pengin saja, tapi takut menaikinya. Kalau tenggelam bagaimana?
Tak terasa hari menjelang sore, ada rasa haus yang aku rasakan. Aku mampir di sebuah warung, beli teh manis hangat. Aku nikmati teh itu sambil duduk di sebuah bale di bawah pohon. Semilir angin membuat mataku melek tidak sempurna. Hamparan biru laut menjadi samar-samar.
Langit tiba-tiba mak prepet, menjadi gelap. Petir menyambar. Hujan turun dengan derasnya. Air laut pasang. Tahu-tahu tingginya sudah selutut kaki. Aku panik. Aku naik ke atas bale. Oleng.
Aku jatuh. Tubuhku basah semua.
Aku terbangun dari mimpi. Banjir sudah masuk ke dalam rumah.
Siap-siap ngungsi!