Pesan terakhir Bhisma

Satu demi satu anak panah Srikandi melesat dan menancap di tubuh Resi Bhisma. Kini ada puluhan anak panah yang tertancap di seluruh tubuh Resi Bhisma, sesepuh Wangsa Bharata yang kini tengah bertikai di Padang Kurusetra.

Bhisma roboh.

Namun ia belum tewas. Nafasnya masih teratur meskipun dadanya dipenuhi oleh anak panah. Sukmanya belum mau meloncat dari raga Bhisma. Sungguh menyedihkan keadaan Bhisma saat itu. Orang tua yang sangat dihormati oleh para Kurawa dan Pandawa itu tergeletak di tengah lapangan, namun tubuh Bhisma tak menyentuh tanah sebab belasan anak panah telah menyangga tubuh rentanya.

Suasana demikian hening. Tak ada yang berani berteriak, bahkan untuk berbisik pun enggan. Srikandi ikut mematung. Ia tak menyangka telah mengalahkan Resi Bhisma yang terkenal dengan sakti mandraguna. Hanya Bhisma yang tahu kalau bukan Srikandi yang melawannya, namun Amba, perempuan masa lalu yang hatinya tersakiti oleh kesombongan Bhisma. Amba telah merasuk ke badan wadak Srikandi untuk melunaskan dendam kesumatnya terhadap Bhisma yang sampai masa tuanya tetap memilih jomblo itu.

Bhisma memanggil Arjuna yang berada di belakang Srikandi, supaya mendekat kepadanya. Bergegas Arjuna mendekati kakek yang sangat dihormatinya itu samabil bersimpuh.

“Letakkan tiga anak panah di kepalaku, Jun. Supaya nyaman tidurku,” ujar Bhisma.

Arjuna pun mengangkat kepala Bhisma dan menyangganya dengan tiga anak panah. Rupanya tak hanya Arjuna yang mendekati Bhisma, namun Duryodana pun ikut membantu mengangkat kepala Bhisma. Kini, ketiga anak panah itu berfungsi sebagai bantal bagi kepala Bhisma. Ia merasa lebih nyaman sekarang.

Resi Bhisma memang punya keistimewaan yakni ia bisa menetapkan kapan saat kematiannya. Maka, meskipun puluhan anak panah menghunjami seluruh tubuhnya ia belum mati juga. Ia tahu kalau ajalnya ada di tangan Amba.

“Haus… aku haus….!” teriaknya lirih, namun didengar semua orang.

Duryodana bergegas ke perkemahan untuk mengambil minuman bagi kakeknya itu. Saat kembali ia membawa minuman anggur yang menyegarkan dan segera memberikan kepada Bhisma.

Namun, Bhisma menolak. Ia minta air kepada Arjuna.

Arjuna membentangkan busur dan menarik anak panah yang ia arahkan ke tanah tepat di bawah kepala Bhisma. Ajaib. Air muncrat dari dalam tanah dan memancar tepat di mulut Bhisma. Dengan lahap Bhisma membasahi tenggorokannya.

“Kini, dengarkan pesan terakhirku untuk kalian semua,” Bhisma minta perhatian. Semua telinga di Padang Kurusetra dipasang baik-baik oleh para pemiliknya. Mereka ingin tahu apa yang akan disampaikan sesepuh mereka di akhir hayatnya.

“Jangan pernah menyakiti wanita!” kata Bhisma lirih, namun gemanya terdengar hingga ke mana-mana terbawa angin.

Tak lama kemudian Resmi Bhisma menghembuskan nafas pamungkasnya.

Note:
Cerita tentang Resi Bhisma yang lain dapat dibaca di Bhisma-Amba atawa di Bhisma-Srikandi atawa di Amba Kelara-lara atawa di Mengawini Trio Macan.