Namanya Moncik. Entah di mana tempat persembunyiannya. Setelah bangun pagi kalau saya melewati meja makan melihat ada bekas jejak si Moncik: sepertinya semalaman ia (dan kawan-kawannya?) berpesta pora. Bukan daging atawa tulang yang ia kerat, sebab di rumah saya tidak ada persediaan daging yang tersaji di meja makan. Moncik (dan mungkin dengan kawan-kawannya itu) memakan buah mangga.
Heran juga saya, kenapa mangga yang jadi sasarannya. Tiga biji mangga terpaksa dibuang, sebab ketiganya terdapat bekas mulut si Moncik. Ia sih tak rakus-rakus amat – artinya, tak semua mangga ia habiskan – cuma melubangi daging mangga dengan moncongnya. Mungkin juga, saban malam ia berpetualangan dari lemari ke lemari atawa dari meja ke meja.
Pada suatu siang, Moncik beranjangsana dari kamar ke kamar, lalu bersembunyi di sekitar gudang. Keberadaan Moncik di siang hari itu sudah memberikan isyarat kalau ia benar-benar ada, bukan makhluk luar angkasa yang di waktu malam mencicipi buah mangga.
Saya mencoba mengoprak-oprak sudut-sudut rumah yang disinyalir menjadi tempat tinggalnya. Semua akses yang berpotensi menjadi lubang pelariannya saya cek dan hasilnya semua tertutup rapat. Investigasi untuk menemukan sarang si Moncik gagal total, hingga akhirnya saya memasang perangkap untuk menangkapnya.
Syahdan, untuk memberi umpan kepadanya saya terpaksa berlauk ayam goreng – padahal saya pengin sekali berlauk tempe atawa tahu – dan bukan ayam yang saya berikan padanya, namun tulangnya. Karena si Moncik suka sekali dengan buah mangga, maka saya pun melengkapi sajen irisan mangga kepadanya.
Malam itu, si Moncik tertarik dengan umpan yang saya taruh di atas lem super lengket (bahkan kalau gajah menginjak lem ini dijamin akan terjebak). Cerdas betul si Moncik, ia berhasil mengambil tulang yang besar tanpa lengket sama sekali. Karena mendapat tulang, ia lupa dengan kudapan mangga yang saya sediakan juga.
Malam berikutnya, saya ubah strategi. Kotak jebakan saya buat sedemikian rupa sehingga nekjika si Moncik masuk, kotak itu akan tertutup dan ia akan terjepit. Gagal maning son. Moncik lebih cerdik. Kali ini ia berhasil menarik tulang lagi.
Kemarin saat pulang kantor sengaja saya membeli lauk bebek goreng. Tulangnya nanti untuk umpan si Moncik. Kemudian saya mampir ke minimarket untuk membeli lem super lengket yang bentuknya mirip odol itu. Sebelum tidur, saya pasang ubo rampe jebakan: tulang bebek yang besar-besar menumpuk mengundang selera makan, di sekelilingnya saya olesi lem super lengket dengan dosis tinggi.
Waktu subuh belum juga datang, saya dibangunkan oleh suara tangisan yang menyayat hati. Tangisan dan teriakan minta tolong dari mulut si Moncik. Saya betul-betul iba melihat keadaannya. Ia terbaring lemah, kelelahan meronta. Semakin meronta ia semakin terjebak dalam lem.
Saat saya mendekatinya, ia seperti menghiba minta belas kasihan. Saya jadi ingat petuah Bung Karno tat twam asi.