Dalam khazanah tradisi Jawa terdapat upacara yang diperuntukkan bagi manusia sejak dalam kandungan hingga manusia itu meninggal, yang sering disebut slametan/selamatan. Upacara slametan yang diperuntukkan bagi manusia yang belum lahir di antaranya pada kehamilan bulan ke tiga (neloni), kehamilan bulan ke empat (ngapati), dan kehamilan bulan ke tujuh (mitoni/tingkeban). Setelah manusia dilahirkan ke dunia, maka bentuk upacara yang diperuntukkan baginya, seperti kelahiran bayi (brokohan), lima hari (sepasaran), puput puser/tali pusar, tiga puluh lima hari (selapanan), tedhak siten (Pakde Cholik pernah menuliskan di sini), sunatan, perkawinan, dan ruwatan. Sedangkan upacara selamatan bagi manusia yang telah meninggal, yaitu saat meninggal dunia (geblak), hari ke tiga, hari ke tujuh, hari ke empat puluh, hari ke seratus (nyatus), satu tahun (pendhak pisan), dua tahun (pendhak pindho), dan tiga tahun/seribu hari (pendhak katelu/nyewu).
Pada Sabtu Paing, yang dimulai selepas maghrib nanti, di rumah ibu saya diselenggarakan upacara pendhak pindho mBah Wedok, yang sudah almarhum sejak dua tahun lalu. Kami memanggil nenek dengan mBah Wedok (wedok berarti putri). Sampai sekarang saya tidak tahu persis berapa umurnya, tapi jika saya perbandingkan dengan umur ibu saya kira-kira ketika meninggal dulu berusia sekitar 85 – 90 tahun. Sedangkan suami mBah Wedok, yang tak lain mBak Kakung saya, meninggal sepuluh atawa sebelas tahun sebelumnya.
Dengan mBah Wedok ini saya memang lebih banyak mempunyai kenangan. Kakek-nenek dari pihak bapak saya tidak mengenalnya, karena ketika mereka berdua meninggal dunia, saya masih kecil di mana saat itu ingatan saya belum mampu merekam sebuah peristiwa. Foto mereka pun bapak saya tidak punya, hanya cerita saja yang saya dengar dari bapak saya.
mBah Wedok menjadi tokoh yang paling dituakan di keluarga kami, sehingga jika lebaran tiba di sanalah kami berkumpul. mBah Wedok menderita sakit yang cukup lama sebelum meninggalnya. Beberapa tahun di bawah perawatan bibi saya. Ada tanda-tanda menjelang kepergiannya. mBah Wedok ingin merasakan tinggal di rumah anak-anaknya. Terakhir, mBah Wedok tinggal bersama ibu saya, anak pertamanya.
Kurang lebih 4 bulan saja mBah Wedok di rumah ibu, dan menjemput takdir-ajalnya di pangkuan ibu saya. Kami yakin, mBah Wedok meninggal dalam keadaan bahagia, terlepas sudah semua beban yang ditanggungnya.
Inti upacara pendhak pindho tersebut adalah pembacaan doa yang dipimpin oleh pak Modin desa, doa untuk almarhum dan doa keberkahan bagi keluarga besarnya, yang dihadiri oleh para tetangga dan kerabat. Upacara ditutup dengan makan bersama dengan menu khas kenduri: nasi gurih/uduk bertabur kedelai hitam, ingkung ayam jago, dan sambel goreng krecek ditambah petai dan ati ampela .