Pecahan 2000 kumel

Kyai SX4 sudah saatnya minum. Sayapun segera membelokkannya ke SPBU. Full Tank. Eh, kok mas yang berseragam merah masih memberikan uang kembalian, Rp 2.000. Uang kertas. Sudah kumel. Ya, saya tidak tahu kenapa uang kertas 2000-an berbahan kertas yang mudah lecek.

Uang tersebut segera saya masukkan saku celana lepis bagian belakang-kiri, mendesak isi kantong yang lain. Saya pun masuk kembali ke kabin Kyai SX4. Begitu duduk, terdengar suara mengaduh.

Auadoh biyung…!!!! Bos, kejepit nih!” teriaknya.

Saya kaget. Loh, suara siapa nih. Saya pun tolah-toleh mencari asal suara. Kembali saya duduk, dan terdengar teriakan yang sama. Saya tidak jadi duduk, masih mencari sumber jeritan.

“Bos… saya ada di kantong lepis nih. Saya adalah uang kertas 2000-an, kembalian beli BBM tadi,” desisnya.

Saya pun segera merogoh kantong lepis belakang-kiri dan mencabut uang kertas 2000-an. Saya heran saja. Uang kok bisa bicara.

“Kamu bisa ngomong?” tanya saya setengah takut.

“Iya Bos. Tapi bos nggak usah takut. Biasa wae. Kemon Bos, lanjutkan perjalanan, nanti kita sambil ngobrol ngalor-ngidul,” terangnya.

Ah… hari yang aneh. Oke, saya layani juga permintaan si 2000-an yang kondisinya lecek itu. Ia saya taruh di dashboard, sehingga dengan jelas saya bisa mengamati wujud anehnya.

“Asalmu dari mana, Wang?” saya mencoba ramah, dengan memanggilnya Wang.

“Tentu saja dari Bank Indonesialah, Bos. Saya dikeluarkan sebagai uang RI berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.11/22/PBI/2009 tanggal 24 Juni 2009 tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Khusus Pecahan 2.000 (dua ribu) Tahun Emisi 2009 Dalam Bentuk Uang Kertas Bersambung,” jelasnya.

“O, baru paham saya. Rupanya ada aturan main di belakangnya ya. Terus, kenapa kamu bisa sampai di tangan saya. Boleh cerita?” tukas saya.

Ia pun mulai bercerita perjalanan hingga masuk kabin Kyai SX4. Awalnya, ada seorang pengusaha penukaran uang licin antri di konter Bank Indonesia, untuk mendapatkan uang pecahan 5000-an dan 2000-an. Di sebuah perempatan jalan ibukota – tempat pengusaha penukaran uang licin itu mangkal – dihampiri seseorang pengendara motor yang menukarkan uang yang akan dibawa mudik lebaran.

Segepok uang 2000-an berpindah tangan, termasuk si Kumel – panggil saja begitu. Ia dibawa mudik ke Klaten oleh pengendara motor tadi. Nanti, habis shalat id uang 2000-an itu akan dibagi-bagikan kepada anak-anak, ada yang mendapat 10.000 ada juga yang 20.000, dengan pecahan 2000-an.

Si Kumel berpindah tangan kepada seorang anak laki-laki yang ingusnya naik-turun. Hari lebaran ia ‘kaya raya’, semua orang sepertinya bermurah hati kepadanya. Sudah tahu pilek, ia malah jajan es pong-pong. Ia membayar dengan si Kumel. Oleh penjual es, ia dimasukkan ke tas pinggang bercampur dengan uang lain.

Esoknya, penjual es belanja ke pasar untuk kebutuhan pembuatan es pong-pong. Si Kumal termasuk uang yang digunakan untuk membayar belanjaan. Di pasar, si Kumel dua kali berpindah tangan. Kali ketiga berpindah ke tukang parkir.

Sebuah mobil Plat B keluar dari parkiran pasar. Dari tukang parkir sopir mobil mendapatkan uang kembalian 4000, yang terdiri dari pecahan 2000, satu di antaranya si Kumel.

“Ntar dulu Wang. Kejadian itu masih di seputaran Kota Klaten?” tanya saya penasaran.

“Betul Bos. Kira-kira semingguan saya berada di Klaten,” jelas si Kumel. 

“Wah…. kapan nyampe Jakarta lagi? Lalu bagaimana bisa di SPBU tadi? Ceritamu bisa seperti dongeng 1001 malam dong. Ini sudah mau nyampe rumah nih. Besok ceritanya dilanjutkan lagi ya?” Saya pun membelokkan Kyai SX4 ke arah rumah.

Si Kumel diam. Seperti ngambek, ” Bos….. ceritanya nanggung nih!”

“Hmmm…,” jawab saya. “Kan, jalan ceritamu gitu-gitu saja kan?”

“Ye… ada yang seru Bos. Saya punya pengalaman disisipkan di balik kutang!” teriaknya girang.

Saya injak rem mendadak. Saya lirik si Kumel yang sedang tertawa riang. 

“Ah… paling kutangnya nenek-nenek!” ejek saya.

“Salah…. Bos!” ledek si Kumel. “Tapi sinden orgen tunggal!!”

Gubrakkk!!! Sebuah becak menabrak pantat Kyai SX4.