Memburu jejak kaki Pak Harto

Seandainya Pak Harto masih sugeng, hari ini ia tepat berulang tahun ke-90. Pak Hato dan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah seperti tiada bisa dipisahkan. Paling tidak, bagi saya – yang lahir dan besar di Karanganyar, mempunyai kenangan tentang jejak kaki Pak Harto di lereng Gunung Lawu ini.

Di 23 Juli 1976, sepertinya seluruh SD/SMP di sepanjang Jalan Lawu (ini nama jalan protokol di kota Karanganyar Jawa Tengah) tidak ada pelajaran, karena sejak dari pagi kami sudah berjejer di tepi Jalan Lawu untuk menyambut atau lebih tepatnya menyaksikan Presiden Soeharto lewat. Memang, di hari itu ada acara peresmian Astana Giribangun. Tahun 1976 itu masih sangat jarang ada mobil yang lewat Jalan Lawu. Paling yang lewat bus Jurusan Solo – Tawangmangu, atau Solo – Matesih.

Hari itu, jalanan makin lengang. Kami, anak-anak sekolah tidak tahu kalau jalan Lawu itu pasti sudah diisolasi dari lalu lalang kendaraan umum, maklum orang nomor 1 di republik ini akan lewat. Kami akan melambaikan tangan, setiap ada mobil plat merah yang lewat. Saya kira semua orang yang berdiri di sepanjang jalan Lawu ingin melihat wajah Presiden Soeharto.

Akhirnya, motor besar yang dikendarai PM meraung-raung, melaju kencang…. demikian juga dengan mobil-mobil di belakangnya… kami terkesima…. sampai saya lupa melambai-lambaikan tangan kanan saya yang memegang bendera merah putih kecil. Mobil presiden telah lewat… kami menyaksikan dalam hitungan detik.

Kami nanti ingin melihat mobil presiden lagi, ketika selesai acara di Astana Giribangun. Tapi kata pak guru, presiden tidak lewat depan sekolah lagi karena akan naik helikopter.

Seingat saya, pada waktu SMP klas 2, presiden kembali ke Karanganyar untuk kunjungan kerja di salah satu kecamatan, acara temu wicara dengan petani. Malam harinya, acara itu disiarkan TVRI sehabis Dunia Dalam Berita, dalam Laporan Khusus.

Tanggal 1 Maret 1992. Sebagai sarjana pengangguran, pagi-pagi saya sudah nongkrong di rumah seorang teman, di Jaten Karanganyar. Sengaja saya datang ke sana, ingin ikut menyaksikan Presiden Soeharto dari dekat. Ya, hari itu ada acara peresmian Monumen Jaten. Di tempat ini Ibu Tien Soeharto dilahirkan dan terdapat satu sumur yang dilestarikan, karena hingga usia 2 tahun Ibu Tien dimandikan di sumur ini. Ternyata, penjagaan sangat rapat, saya dan orang-orang yang ingin melihat  upacara tersebut dari dekat harus puas menatap dari kejauhan. Itu pun tidak bisa menyaksikan wajah Pak Harto.

Sebenarnya, kedatangan saya ke tempat acara ini selain ingin melihat Pak Harto juga ingin ngalap berkah dengan setidaknya menatap wajah Pak Harto secara langsung. Gagal.

Pada tanggal 04 Oktober 2008, saya mudik ke Karanganyar, saya menyempatkan ziarah ke makam Pak Harto, di Astana Giri Bangun, yang jaraknya tidak sampai setengah jam dari rumah orang tua saya. Ya, ketika saya ziarah di makam Pak Harto, posisi duduk saya sangat dekat dengannya. Dengan kuburannya, tepatnya.

Tahun lalu, ketika mampir shalat di masjid Kalitan, saya sempatkan masuk ke nDalem Kalitan. Apa itu nDalem Kalitan? Sebuah rumah yang berlokasi di kawasan Kalitan, di tengah pusat Kota Solo yang dibangun tahun 1789. Bangunannya bertembok beton dan gerbang kayu lawas berarsitektur Jawa kuno. Bangunan utama terdiri dari tiga bagian, yakni pendhapa (ruang depan berbentuk joglo), pringgitan (ruang atau selasar tengah) dan senthong (ruang tidur). nDalem Kalitan menjadi tempat Pak Harto dan keluarganya beristirahat bila berkunjung ke Solo.

Setelah Pak Harto dan Ibu Tien tidak ada lagi, nDalem Kalitan dibuka untuk umum. Kata mas Satpam yang menjaganya, setiap hari ada saja orang yang datang untuk sekedar melihat rumah Pak Harto itu, termasuk saya. Dan saya merasa senang bisa berfoto-foto di pendhapa. Di sana dipajang foto Pak Harto, Ibu Tien dan keluarganya. Berfoto-ria di halamannya yang luas, asyik juga kok.