Pas tidak Legi

Kika pernah bercerita kalau ia pergi ke Pasar Kotagede. Ceritanya seru, karena ia seperti melihat pasar zaman dulu yang sesungguhnya: tukang obat menjajakan dagangannya dengan cara atraktif di sebelah tukang ramal nasib orang, para pedagang burung hias dikerumuni pecinta hewan berkicau itu di sisi barat pasar, serta pedagang barang yang unik lainnya.

Saya pun terprovokasi ingin mengunjungi pasar tradisional tertua yang dibangun di abad 16 tersebut.

Pas hari Minggu kunjungan ke Jogja, kami berempat nge-grab ke Pasar Kotagede. Sekira jam 9-an pasar kok sepi. Usut punya usut dengan bertanya kepada para pedagang di sana, pasar ini ramai kalau pas pasaran Legi. Kami datang ke sana hari Minggu Paing. Benar saja, ketika melihat tulisan di pintu masuk: Pasar Legi Kotagede.

Di tradisi Jawa memang jamak terjadi sebuah pasar hanya ramai 5 hari sekali. Dinamakan Pasar Kliwon, misalnya, karena puncak keramaian ada di hari pasaran Kliwon dalam penanggalan Jawa. Hari pasaran ini akan terjadi setiap 5 hari sekali, Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing.

Ndak apa-apa, lain kali kami akan datang lagi ke Pasar Legi Kotagede.

Karena bingung mau ke mana, kami berjalan kaki menuju Cokelat Monggo sekalian beli bakpia ubi ungu yang dijual di ujung selatan pasar untuk oleh-oleh pulang ke Karawang sore harinya. Hmm, saya ngos-ngosan juga berjalan kaki padahal jaraknya tidak sampai seribu meter.

Dari Cokelat Monggo kami ngo-jek ke Omah Dhuwur untuk makan siang, meskipun belum siang-siang amat. Karena belum saatnya makan siang, pengunjung rumah-makan ya hanya kami berempat saja.

Sambil menunggu makanan yang dipesan disajikan saya mencoba browsing Pasar Legi Kotagede. Banyak sekali informasinya yang menarik dan unik, sehingga kedatangan kami berikutnya ke Jogja mesti dipaskan di pasaran Legi, biar bisa menikmati suasana Pasar Legi Kotagede.