Para Pengeja Hujan

Madinah, ketika udara berserah diri.

Suara Bilal seolah menembus atap langit.Keindahan meresap melalui kesederhanaan azan yang ia kumandangkan. Amatlah merdu kedengarannya. Mungkin oleh suara Bilal yang memang paling enak didengar, atau karena imannya yang membuat setiap azannya dipenuhi keindahan.

Sayang, kali ini engakau tak bisa bersegera memenuhi panggilan itu, Tuan yang Senantiasa Bersegera dalam Kebaikan. Engkau lunglai di tempatmu terbaring, sementara ‘Aisyah dan para istri menungguimu sembari merasakan penderitaanmu.

“Suruhlah Abu Bakar mengimami shalat,” katamu. Yah. Kali ini engkau tak sanggup lagi berdiri memimpin shalat sementara umatmu menjadi makmum di belakangmu.

‘Aisyah adalah anak Abu Bakar. Hafal benar dia dengan perangai ayahnya. Menggantikan tempatmu, meski dalam hal mengimami shalat pun akan membawa kesedihan baginya. “Ya, Rasulullah,” jawab ‘Aisyah, “Abu Bakar orang yang sangat perasa. Suaranya lemah dan lebih banyak menangis saat membaca Al-Quran.”

“Suruh Abu Bakar mengimami shalat.”

Apakah engkau tak mendengar kalimat ‘Aisyah, wahai, Lelaki yang Gemar Mendengar Kesedihan Umat? Rasanya bukan karena engkai tak mendenga apa kata istrimu maka engkau mengulangi kalimatmu.

“Bagaimana jika ‘Umar saja yang menggantikan tempatmu?” ‘Aisyah belum menyerah.

“Suruh Abu Bakar mengimami shalat.”

‘Aisyah menoleh ke Hafshah, istrimu yang putri ‘Umar. Hafshah baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika engkau mendiamkannya dengan kalimat yang demikian tegasnya.”Kalian seperti wanita yang mengelilingi Yusuf. Suruh Abu Bakar mengimami shalat. Biarkan para pencela tahu kekeliruannya dan biarkan keinginan orang yag ambisius. Allah dan kaum mukmin tidak akan demikian.”

Tidak ada lagi bantahan. Perintahmu lalu disampaikan kepada Abu Bakar yang kemudian mengerjakan keinginanmu meski yang dikatakan ‘Aisyah benar adanya. Abu Bakar halus rasa, begitu mudah tersentuh dan berurai air mata. Mengimami shalat yang berarti melafalkan surat-surat Al-Quran membuatnya terisak oleh rasa syukur, kepasrahan, hingga rasa takut akan Tuhan.

Hari-hari setelah itu, engkau lebih banyak meletakkan kepala sucimu di pangkuan ‘Aisyah. Hanya ketika Fathimah menjenguk, maka engkau menerima kedatangan putrimu itu dengan sukacita. Biasanya, ‘Aisyah lalu mengundurkan diri sejenak agar engkau bisa meluangkan waktumu bersama putri tercintamu itu.

Hari itu, setelah berbincang seperti hari-hari biasa, engkau membisikkan sesuatu di telinga Fathimah yang membuat putrimu itu lantas menangis demikian kentara. Tangisnya membuat ‘Aisyah yang mendengarkannya jadi begitu bertanya-tanya. Apa gerangan yang engkau bisikkan kepadanya?

Lisanmu kepada Fathimah, putrimu, “Setiap tahun Jibril mendatangiku untuk mengulang semua wahyu Al-Quran yang disampaikan padaku. Tahun ini, ia datang dan memeriksa Al-Quran sebanyak dua kali sehingga aku menduga bahwa ajalku telah dekat,” betapa perih terdengar suaramu, duhai Lelali Bersuara Indah. Apakah itu karena sakit pada tubuhmu atau karena kesedihannmu? Engkau menatap Fathimah,”… dan salah satu nikmat terbaikku adalah memilikimu. Kelak, engkau akan menjadi ahlulbait-ku yang paling pertama bertemu denganku.”

Fathimah tak mampu lagi menampung lara di dadanya. Dia terisak sembari menatap wajah sucimu. Engkau berbisik lagi, “Tidak sukakah engkau menjadi pemimpin wanita umat ini atau pemimpin wanita seluruh alam?”

Tangis Fathimah berubah menjadi tawa. Tawa yang lebih mirip tangisan. Atau kedua-duanya dalam waktu bersamaan. Fathimah mencermati wajahmu, berusaha memahami penderitaan badanmu. “Teramat sakitkah, duhai, Ayah?”

Engkau menatap Fathimah dengan pancaran kasih sayang. “Setelah hari ini, ayahmu tak akan lagi merasakan penderitaan, wahai, Fathimah.”

Fathimah tak tahu lagi mesti mengatakan apa. Dia hanya mengangguk saja. Termasuk ketika engkau mengutarakan keinginanmu bertemu dengan kedua putranya, Hasan dan Husain, cucumu yang kerap menerbitkan tawa bahagiamu. Ketika kakak beradik yang mewarisi darahmu itu hadir di ruangan itu, engkau menciumi keduanya. Mewasiatkan segala kebaikan kepada mereka.

Kemudian istri-istrimu engkau panggil. Engkau menasihati mereka, mengingatkan segala sesuatu yang menjadi bekal bagi mereka. Engkau masih menyiapkan beberapa doa dan segala sesuatu yang ingin engkau katakan kepada mereka. “Peliharalah shalat, peliharalah shalat, dan lindungilah orang-orang lemah di antara kalian.”

Tarikan napasmu menjadi pendek-pendek. ‘Aisyah lantas membimbing kepala muliamu ke pangkuannya.

~oOo~

Artikel di atas saya kutip dari Tangis dan Tawa Fathimah, salah satu bab dalam buku Muhammad: Para Pengeja Hujan halaman 338 – 340. Buku kedua dari vovel biografi Muhammad SAW setebal 690 halaman ini ditulis oleh Tasaro GK diterbitkan oleh Bentang Pustaka (Mei 2011).