Mengenang Ki Timbul Hadiprayitno

Pada tanggal 10 Mei 2011 lalu, dunia pewayangan Indonesia, kehilangan salah satu dalang besar, Ki Timbul Hadiprayitno. Ia merupakan dalang yang sangat konsisten dengan gagrak (aliran, gaya, khas) Yogyakarta, menghembuskan nafas terakhir di rumahnya Jalan Parangtritis Km 14,5 Panjangjiwo, Patalan, Jetis, Bantul.

Ki Timbul Hadiprayitno yang lahir Desa Jenar, Bagelen, Purworejo, 21 September 1934 itu, meninggalkan 12 anak kandung, dari tiga perempuan yang diperistrinya. Dari perkawinan dengan istri pertama, Tuginem, Ki Timbul dikaruniai dua orang anak. Lalu dari perkawinan dengan istri keduanya, Rukidah, dikaruniai enam orang anak. Sementara itu, perkawinan dengan istri ketiganya, Painah, tak dikaruniai anak. Salah satu putra Ki Timbul Hadiprayitno adalah Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, guru besar pedalangan ISI Yogyakarta.

Ki Timbul merupakan tokoh pewayangan yang terkenal di dalam dan luar negeri. Ki Timbul berasal dari keluarga dalang, yaitu ibunya sendiri adalah anak seorang dalang yang bernama Ki Proyo Wasito yang memiliki adik perempuan bernama Tini. Nah, ibu Tini ini melahirkan dalang terkenal Ki Hadi Sugito dari Kulon Progo. Selain belajar mendalang dari lingkungan keluarga, ia juga mengabdikan diri sebagai abdi dalem keraton dengan gelar Mas Cermomanggolo, dan menjadi guru di sekolah pedalangan Habiranda di keraton. Ia juga senang membaca dan mempelajari buku-buku literatur untuk memperkaya pengetahuan dan mengasah kemampuan mendalangnya, bahkan sampai usia sepuh. Dengan selalu mengikuti perkembangan di masyarakat dan terus belajar dari literatur-literatur yang ada, Ki Timbul pun mengangkat lakon langka yang dikenal dengan lakon Banjaran,  yaitu lakon hasil kreativitas baru yang diciptakan oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Banjaran serupa visualisasi riwayat hidup seorang tokoh, lengkap dari lahir sampai mati. Misalnya lakon Banjaran Sengkuni menceritakan lahirnya Sengkuni dan nama aslinya, bagaimana ia mendapat jabatan patih di Astina, bagaimana ia menyulut pembakaran para Pandawa, sampai kematian Sengkuni dalam perang Bharatayuda. Lakon Banjaran lainnya seperti Banjaran Durna, Banjaran Werkudara, Banjaran Salya, Banjaran Karna dan sebagainya.

Karena seringnya melakonkan Banjaran, maka banyak pihak yang meminta Ki Timbul melakukan ruwatan sebuah prosesi penyelamatan anggota masyarakat Jawa melalui medium wayang kulit.  Lakon ruwatan merupakan lakon asli dari Jawa, bukan dari Mahabharata atawa Ramayana, karena lakon ruwatan merupakan hasil dari suatu pemahaman kejawen.

Di tahun 70 sampai 90an, Ki Timbul sangat sering mendalang di Jakarta, seperti pada tahun 1970-1971 ia menggelar serial Bharatayuda di Senayan, kemudian pada tahun 1982-1994 ia menjadi dalang tetap peringatan 1 Sura di Senayan. Gaya mendalang Ki Timbul konon sangat disukai Pak Harto dan Gus Dur, karena gaya mendalang Ki Timbul yang klasik dan teguh dengan filosofi Jawa. Ki Timbul termasuk dalang yang sangat fanatik dengan pergelaran pakem, bukan pergelaran kolaborasi dengan berbagai cabang seni. Tak segan Ki Timbul menolak permintaan untuk pentas dengan bintang tamu pelawak.

“Mau nanggap dagelan atau nanggap wayang? Kalau nanggap dagelan, ya saya tidak mendalang,” kata Ki Timbul, suatu ketika. “Nanti lama-kelamaan wayang hanya jadi pelengkap, padahal seharusnya wayanglah yang diutamakan, bukan pelawaknya.”

[dari berbagai referensi]