Akal bulus

“Dengan akal bulusnya, koruptor itu lari ke Singapura”. Kalimat semacam ini sering kita baca atawa dengar dari pembicaraan sehari-hari. Ya, bukan koruptornya, tetapi akal bulusnya. Istilah akal bulus sering digunakan untuk menyatakan suatu kecerdikan dan banyak akal, namun sayangnya untuk konotasi yang negatif. Sebetulnya, dari mana asal mula istilah akal bulus ini, ya?

Baiklah, kita berkenalan dulu dengan si bulus.  Ia punya nama  ilmiah Amyda cartilaginea, kura-kura tapi berpunggung lunak anggota suku Trionychidae. Ia disebut berpunggung lunak karena sebagian perisainya terdiri dari tulang rawan di mana tempurung punggungnya dilapisi oleh kulit tebal dan licin.  Warnanya bervariasi mulai dari hitam, abu-abu hingga kecoklatan. Si bulus yang masih muda memiliki bintik-bintik kekuningan, terang atawa buram. Kadang-kadang terdapat 6-10 bercak bulat agak gelap bertepi putih, tersusun dalam deretan melengkung di punggungnya. Sisi bawah tubuh halus licin, berwarna keputihan [referensi: Wikipedia].

Masih dalam keterangan ilmiah, bulus biasa bersembunyi dalam lumpur atawa pasir di dasar perairan. Dari penjelasan inikah timbul istilah akal bulus? Karena ia pandai bersembunyi? Xixixi… mboh ah, saya nggak tahu.

Bisa jadi istilah akal bulus diambil dari sebuah dongeng atawa fabel, yang melibatkan si Bulus jadi tokohnya. Di Nusantara, yang terkenal adalah dongeng mengenai si Bulus yang mengakali si Kancil dalam kisah Kancil menantang lari si Bulus. Dengan kecerdikannya, si Bulus ternyata memenangkan pertandingan lari tersebut. Anda tentu sudah tahu akal bulusnya si Bulus kan, sehingga ia berhasil membuat Kancil bertekuk lutut?

Apa karena si Bulus itu cerdik dan pintar, sehingga lemaknya pun diburu untuk dijadikan minyak bulus? Untuk para koruptor, selamat pulang kembali ke Jakarta, minyak bulus sudah menunggu kalian semua.