Papringan belakang rumah

Membaca artikel Nostalgia Papringan-nya mBak Prih, mau ndak mau kenangan di masa kecil dulu muncul di benak ini. Saya ingin ikut bernostalgia pada sebuah papringan yang berada di belakang rumah.

Rumpun bambu yang saya maksud itu bukan merupakan properti keluarga saya, tetapi milik Pakde Wiryo. Papringan jadi pertanda pembatas tanah, tumbuh di pinggir kalen/sungai kecil. Di bawah papringan tersebut menjadi tempat favorit anak-anak untuk beraktivitas dolanan: benthik, kelereng, sarsur kulonan, pasaran, dan sebagainya. Tempatnya sangat sejuk.

Saya ingat, di salah satu sudut ada kuburan kecil, tempat bersemayamnya janin mBokde Wiryo yang lahir miskram. Setiap malam jumat selalu ada kembang setaman yang ditaburkan di atasnya. Kami yang bermain di sana pada waktu siang hari  tak ada rasa takut, tetapi kalau hari sudah malam tak satupun dari kami berani sendirian melewati papringan tersebut.

Waktu kecil kami sangat akrab dengan papringan itu.

Jika Pakde Wiryo menebang dua-tiga batang bambu, kami ramai-ramai akan menyaksikan prosesi robohnya batang bambu. Pakde Wiryo sering memperingatkan kami supaya tidak dekat-dekat dengan bambu yang ditebang tersebut.

Dengan aritnya yang sangat tajam, Pakde Wiryo akan membersihkan daun-daun bambu yang tumbuh di ruas-ruasnya. Tak sengaja, kami yang berada di dekatnya akan terkena glugut yang jika tak ingin kegatalan maka kami buru-buru mengusapkan ke rambut.

Aroma bambu yang dipotong tersebut sangat khas: menurut saya wangi. Oleh Pakde Wiryo bambu dipotong-potong lalu dibelah, tak lama kemudian jadilah pagar. Ia juga membuat tali dari suwiran bambu tersebut.

Tak hanya pagar, Pakde Wiryo juga memanfaatkan bambu untuk usuk dan reng atap rumahnya. Bambu tak langsung dipakai, tetapi akan direndam dulu di kalenan untuk jangka waktu yang sangat lama, cara yang paling sederhana untuk mengawetkan bambu.

Pada waktu-waktu tertentu, mBokde Wiryo akan memanen tunas-tunas bambu atau disebut rebung. Ibu saya biasanya mendapatkan jatah. Kalau sudah begitu, hari itu ibu saya akan njangan bung (memasak rebung). Konon, rebung dari pring petung (bambu betung, Dendrocalamus asper)   memiliki rasa paling enak.

Rebung tersebut berfungsi sebagai sayuran. Bumbunya – kalau ndak salah – mirip sayur lodeh atau bobor. Kalau rebung masih keras, terasa kriuk-kriuk.

Nyiamik tenan rasane!