Pancasila yang renta

Lelaki berusia tujuhpuluh tahun itu terlihat sangat renta. Jalannya tertatih, entah ke mana ia melangkah. Rasanya ia tengah menyambut senjakala.

Kini hanya sedikit orang yang menghiraukannya, bahkan sebagian besar telah melupakan intisari dari wejangan-wejangannya.

“Lelaki tua itu bernama Pancasila,” kata teman saya sambil menatap langkah-langkah gontai Pancasila.

“Saya masih ingat kepadanya, Mas. Tetapi ajaran dan wejangannya, terus terang banyak yang lupa. Terakhir saya berjumpa dengannya di awal masa kuliah di tahun 1986 lalu. Sudah sangat lama. Apakah sampeyan sudi mengingatkan saya tentang ajaran Pancasila?”

Teman saya memulai memaparkan ajaran Pancasila.

“Pancasila mengajarkan kepada kita tentang kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Apa pun agama dan kepercayaan yang kita anut.”

“Toleransi berarti membina kerukunan hidup dan mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda,  bukan?”

“Betul. Poin paling penting bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan. Kita harus saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah dan tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap kepada orang lain.

Hmm, indah betul ajaran Pancasila itu.

“Itu tadi uraian dari sila pertama. Kalau sila kedua bagaimana Mas?

“Pancasila mengajarkan kita harus mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Ingat di negeri kita terdiri dari banyak suku bangsa, sehinga wajib bagi kita untuk mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia.”

Saya mencoba mengemukakan pendapat.

“Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia dan saling tenggang rasa dan tepa selira, juga kan?”

“Satu hal yang tidak boleh diabaikan yakni menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan berani membela kebenaran dan keadilan!”

“Kalau penjabaran sila ketiga bagaimana, Mas?”

“Kita kudu mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.”

Saya mencerna kalimat yang terlontar dari mulut teman saya itu. Ah, mengapa sekarang ini banyak orang yang lebih mementingkan urusan pribadi dan golongannya?

“Uraian untuk sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, pripun Mas?”

“Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. Dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, mesti mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.”

Ia menambahkan penjelasan.

“Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Sedangkan keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.”

“Sekarang yang terakhir, sila kelima. Bagaimana uraiannya?”

“Pancasila mengajarkan untuk mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Itu yang pertama. Kedua, mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Ketiga, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Selanjutnya sampeyan masih ingat nggak?

Saya mengerutkan jidat saya dalam mengingat-ingat ajaran Pancasila.

“Ah… kelamaan mikirnya. Keempat, menghormati hak orang lain. Kelima, suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri. Kemudian, tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain, tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah, tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.”

“Nah, selanjutnya saya ingat Mas. Pancasila mengajarkan kita suka bekerja keras, suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama dan suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.”

Teman saya tersenyum. Saya pun ikut tersenyum.

Tetapi Pancasila tidak tersenyum.