Mati ketawa cara Niwatakawaca [3]

Lanjutan dari Bagian [2]

Perlu waktu lima detik bagi Niwatakawaca mencerna cerita bidadari depresi yang dituturkan Supraba. Bahkan bagi Supraba, menunggu sedetik berasa setahun. Mengapa Niwatakawaca tidak spontan tertawa, apakah humor yang ia lontarkan kurang lucu?

Sejurus kemudian terdengar gelegak suara dari mulut Niwatakawaca.

“Huahahaha…. hahaha… hahaha… hi…hi…hi… ceritamu lucu banget Nduk. Xixixi…. jadi…jadi…. semua bidadari masih stres ya… wkwkwkwk…,” Raja Manikmantaka itu tak kuasa mengendalikan syaraf ketawanya.

Ia bahkan berguling-guling di karpet. Ia terlentang sambil kakinya menendang ke sana ke mari, mirip bayi yang digoda oleh ibunya. Kelakukan Niwatakawaca membuat heboh seluruh keraton. Para keluarga dan punggawa istana baru pertama kali menyaksikan raja junjungan mereka tertawa. Selama ini yang mereka lihat hanya senyuman belaka.

Supraba bingung. Di mana Arjuna? Ini saat bagi Arjuna membidikkan panah Pasopati ke langit-langit mulut Niwatakawaca. 

“Mengapa kamu malah tidak tertawa, Cah Ayu? Ceritamu lucu banget tahu … xixixi…. kik… kik.. kik… ha…ha…ha…!” ujar Niwatakawaca sambil menghapus air mata yang meleleh di pipinya.

Tasss!!! Sebuah anak panah meluncur dengan kecepatan sangat tinggi kemudian menancap tepat di langit-langit mulut Niwatakawaca yang saat itu sedang membuka mulutnya lebar-lebar.

“Apes aku!” suara Niwatakawaca terpekik.

Niwatakawaca terlambat mengelak. Nafasnya bergerak sangat cepat. Dadanya naik-turun menahan sesak. Kedua tangannya menggenggam anak panah yang kini tertancap di mulutnya. Tak mungkin baginya menarik anak panah itu sebab akan mempercepat kematiannya.

Ia terkapar.

Dengan suara yang tidak begitu jelas, ia memanggil Supraba untuk mendekat. Supraba ragu. Arjuna memberikan isyarat tak apa kalau ia ingin mendekati Niwatakawaca yang tengah sekarat.

“Ceritamu semakin lucu Supraba. Sekarang ada empat bidadari yang terkena depresi. Nawangati, Nawangsari, Nawangwulan dan… kamu! Aku yang menjadi korbannya,” kata Niwatakawaca terbata, tanpa bisa ketawa lagi.

Supraba terenyuh dan merasa bersalah.

“Siapa lelaki keparat yang membidikkan anak panah ke titik kelemahanku, Praba? Pacarmu?” tanya Raja Manikmantaka.

“Bukan Baginda. Ia bernama Arjuna. Ia dikirim oleh para dewata di kahyangan sana untuk membunuhmu. Maafkan aku,” kata Supraba.

“Wahai Arjuna, katanya kamu seorang ksatria. Tetapi mengapa kamu menggunakan cara licik untuk mengalahkanku? Apa kamu tidak malu kepada dirimu sendiri?” Niwatakawaca berusaha menoleh ke arah Arjuna.

Memang benar kata Niwatakawaca. Arjuna telah beberapa kali berlaku licik untuk memenangkan sebuah pertempuran.

Niwatakawaca mati dalam kesakitan yang luar biasa.

Tancep kayon!