Warung mBok Tum tetap ramai dikunjungi para pekerja proyek, karena masakannya enak harganya juga terjangkau.
“Para dulur, saya mohon maaf kalau tempe atawa tahunya agak kecil ukurannya dari yang kemarin-kemarin. Kata penjualnya harga kedele lagi naik. Mereka nggak mungkin menaikkan harga, bisa-bisa para pelanggan pada kabur. Jadinya, diperkecil deh ukurannya,” kata mBok Tum kepada para pelanggan warungnya.
“Jaman apa ini. Kemarin harga cabe yang melangit, sekarang disusul kedele. Makan kalau nggak pakai sambel ya terasa hambar lah…,” celetuk Dasiman, asisten juru ukur.
“Lha, iya. Hampir-hampir kemarin itu aku ngemut balsem mas. Saking nggak tahan seharian belum kesentuh sedulit sambel pun,” kata Markam, lalu diikuti gelak tawa pengunjung warung.
“Kita yang mampunya berlauk tahu tempe, rak cotho to mas. Asupan gizi untuk menambah energi kita rak cuma itu, tahu tempe itu. Mau makan daging? Wah… bisa-bisa istri di rumah nggak dapat jatah kiriman minggon, habis buat makan, “ sahut Dasiman.
“Aja mangan daging Man, mengko mung dadi slilit tok he..he…,” ujar Suban, keneknya Markam.
mBok Tum mesam-mesem saja mendengar celetukan pelanggannya. Ia menyadari ukuran kantong para pelanggannya itu, makanya tidak ada menu mahal di warungnya. Paling banter ia bikin pepes ayam, bumbunya banyak tetapi daging ayamnya sekedarnya saja.
“Sakjannya, yang bikin cabe dan kedele mahal itu apa sih?” Mino yang tadi diam mengajukan pertanyaan, entah pada siapa.
Hanya terdengar mulut berkecap menikmati makan siang masing-masing. Diskusi hampir deadlock, untung mBok Tum memecah kesunyian dengan sekedar bertanya.
“Apa sampeyan nggak baca koran to Min?” mBok Tum ketawa, kelihatan giginya.
“Weh… yang buat beli koran ya duwitnya sapa to mBok…!” jawab Mino.
“Saya kok jadi ingat sama Pak Harmoko ya,” kata mBok Tum. Pandangannya menerawang ke arah langit-langit warungnya.
“Pak Harmoko yang mantan ketua MPR itu ya mBok?” tanya Dasiman.
“Iya… tapi yang saya ingat ketika panjenengane jadi Menteri Penerangan hampir seperempat abad itu. Jian… ampuh tenan pangandikan panjenengane. Saiki di mana ya?” kata mBok Tum, masih menerawang.
“Hubungannya apa mBok dengan pembicaraan kita ini?” tanya Dasiman lagi.
“Ngene Man. Dulu sekali, setiap habis rapat kabinet Pak Harmoko menjelaskan hasil rapat kepada seluruh rakyat melalui TVRI. Nah, satu hal yang disampaikan Pak Harmoko itu ya urusan perut rakyatnya. Pak Harmoko mengumumkan harga-harga kebutuhan rakyat kebanyakan, seperti kol, cabe kriting, kedele, ikan, wis pokoke sembako disebut semua. Kalau Pak Harmoko ngendika harga cabe sekilonya lima ratus perak, besoknya harga cabe ya lima ratus perak. Dan seingat saya, waktu itu harga-harga sembako kok ya murah banget,” mBok Tum berpidato di warungnya sendiri.
“Lha kok sakti amat Pak Harmoko itu, mBok?” tanya Mino yang kelahiran tahun sembilan puluh itu.
mBok Tum tersenyum saja mendengar pertanyaan Mino dan cuma bergumam lirih, “Pak Harmoko sekarang di mana ya?”