Outsourcing, jalan pintas?

Salah satu agenda penting yang disuarakan serikat pekerja dalam melakukan unjuk rasa – misalnya pada Hari Buruh 1 Mei, adalah masalah outsourcing atawa alih daya. Mereka meminta pemerintah melakukan revisi UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan salah satunya menghapus tenaga kerja outsourcing. Memang dalam UU tersebut diatur hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh seperti Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu, (PKWTT) dan Borongan Pekerjaan (Outsourcing).

Dalam Pasal 66 UU No. 13/2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Inilah yang sering menjadi perdebatan panjang, karena banyak perusahaan yang melakukan outsourcing untuk proses produksi. Kalau untuk kegiatan jasa penunjang misalnya Cleaning Service, masih bisa diterima.

Keadaan makin runyam ketika perusahaan penyedia jasa alih daya ini adalah perusahaan yang “nakal”. Mereka memotong gaji setiap bulan dengan dalih sebagai biaya administrasi atawa fee bulanan, sehingga pekerja/buruh akan mendapatkan upah di bawah standar yang ditetapkan pemerintah yang dikenal dengan UMK/UMP. Selain itu, untuk urusan kesejahteraan (Jamsostek, Jaminan Kesehatan, tunjangan lain) sering diabaikan oleh perusahaan penyedia alih daya tersebut.

Apa mungkin kita mendapatkan tenaga kerja yang berupah rendah tetapi berkualitas yang sanggup bersaing di pasar bebas?

Nah, perkara menyerahkan pekerjaan ke pihak lain untuk mengurangi resiko tidak melulu dilakukan oleh perusahaan, akan tetapi dilakukan juga pada sebuah lembaga rumah tangga.

Pekerja outsourcing itu bernama pembantu rumah tangga (PRT) yang mulai bergeser namanya menjadi pekerja rumah tangga, dan yang lebih keren lagi disebut dengan asisten rumah tangga, yang bertugas antara lain untuk beres-beres rumah, memasak dan sebagainya. Bahkan ada pekerjaan utama yang menjadi kewajiban orang tua terhadap anak-anak mereka yang juga dialihdayakan kepada para PRT yaitu mengasuh dan membesarkan si anak.

Lalu, untuk pendidikan anak-anaknya total diserahkan kepada para guru di sekolah dan guru les yang didatangkan di rumah. Belum nanti alih daya untuk pekerjaan antar-jemput ke sekolah, les ini-itu, dan sebagainya. Tapi kalau itu semua masih bisa dikendalikan oleh peran orang tua sih, ya nggak apa-apa. Asal anak-anak mereka tidak kurang mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya.

Anak adalah aset paling berharga bagi kedua orang tua dan keluarga besarnya, jangan sampai terjadi salah asuh dan salah didik terhadap mereka.

Apa mungkin kita menciptakan generasi penerus yang cemerlang sementara sebagai orang tua kita menjauhkan diri dari mereka?