Nonton

Seingatku, tiga atawa paling banyak empat kali ibu pernah mengajakku nonton pagelaran wayang kulit. Tempatnya tak jauh dari rumah: di rumah tetangga yang kebetulan ada hajatan dan di pendapa kabupaten. Kenangan yang masih menempel di otak saya ketika nonton wayang di pendapa kabupaten dengan dalang Ki Anom Suroto. Lakon yang dimainkan apa, aku lupa. Dan aku juga lupa dalam rangka apa pagelaran wayang ini: untuk memeriahkan HUT kemerdekaan RI atawa kampanye partai beringin.

Pendapa kabupaten tak jauh dari rumah, hanya sepelemparan sandal saja. Jadi, untuk menuju ke tempat pagelaran wayang tak perlu buru-buru. Babak Limbuk-Cangik tentu saja masih aku nikmati dengan mata segar karena sosok ibu-anak yang lucu itu muncul sebelum mataku mengantuk. Apalagi banyolan-banyolan yang dilontarkan pak dalang membuat suasana makin meriah.

Ketika mataku mulai mengantuk aku rebahkan kepala di kaki ibu. Sebelumnya aku berpesan supaya dibangunkan ketika adegan Goro-goro dimulai.

Bagaimana dengan tontonan yang lain?

Ibu juga mengajakku nonton bioskop. Bukan di gedung film, namun di lapangan umum (demikian kami warga desa menyebut lapangan ini). Bukan layar misbar (gerimis bubar), karena bioskop layar tancap ini berada di lapangan umum saat musim kemarau. 

Tugasku adalah membawa tikar mendong yang akan kami gelar di lapangan nanti. Bioskop layar tancap ini gratis, sebagai sarana hiburan saat mereka mempromosikan produknya: sabun cuci, rokok, atawa batu battery. Sebelum film diputar mereka berpromosi. Khusus untuk batu battery ada hiburan tambahan yaitu penampilan orang-orang cebol yang menari di atas mobil sambil menawaran batu battery.

Ketika film diputar, hingar-bingar promosi dihentikan. Mata penonton sibuk menatap ke arah layar tancap. Ibu beranjak dari tempat duduknya untuk membeli kacang atawa ubi rebus untuk kami nikmati bersama sambil nonton filmnya. Ketika babak 1 usai, mesin pemutar film perlu didinginkan, mereka kembali berpromosi. Hingar-bingar lagi. Ada yang mendekat ke arah mobil promosi untuk mengikuti undian berhadiah bagi yang membeli produk yang ditawarkan, sementara penonton lain duduk manis menunggu kelanjutan film yang diputar. Waktu itu tak ada adegan seronok yang ditampilkan di dalam film, karena mereka memutar film-film Benyamin S atawa Bagio Cs.

Ada satu lagi momen yang ibu sering mengajakku menontonnya: cembengan. Tak jauh dari rumah kurang lebih 3 km, terdapat pabrik gula. Cembengan adalah pesta yang diadakan oleh pabrik gula untuk menandai awal dimulainya musim giling. Seperti pasar malam, yang berlangsung berhari-hari.

Note: Artikel Nostalgia bersama Ibu #3 ini untuk menyambut Hari Ibu tanggal 22 Desember