Jujur

Sebagai keluarga yang bermahzab Islam abangan – baca: belum menjalankan ajaran Islam secara kaffah, ibu selalu menasihatkan kepadaku untuk berbuat baik. Konsep pahala dan dosa atawa surga dan neraka, tak pernah sekalipun disinggungnya. Hanya: boleh dan tidak boleh. Boleh berarti melakukan perbuatan baik, tidak boleh berarti melakukan suatu perbuatan yang merugikan orang lain. Sangat lugas.

Bagaimana tidak disebut Islam abangan? Menjalankan syariat Islam saja masih pilih-pilih, belum dilaksanakan dengan totalitas. Contoh sederhananya seperti shalat belum bisa tepat waktu, menjalankan puasa masih terbatas puasa wajib, baca Quran belum tentu seminggu sekali, dan masih banyak lagi. Masih jauh dari sunah Kanjeng Nabi.

Satu hal lagi yang dinasihatkan ibu adalah jujur. Tak sepenuhnya aku bisa melaksanakan nasihat yang satu ini, karena sadar atawa tidak aku sering tidak jujur kepadanya. Tapi itulah ibu, pasti ia tahu kalau anaknya tidak jujur ketika ia mengajukan suatu pertanyaan dan aku jawab. Mungkin ia membaca dari raut muka atawa sinar mataku. Sebetulnya, semua itu aku lakukan untuk tidak membuatnya sedih. Misalnya saat aku kuliah dulu. Ibu mengirimkan uang bulanan yang jumlahnya tak seberapa itu, lalu ia bertanya apakah uang yang ia kirimkan cukup untuk sebulan? Tentu saja aku jawab cukup.

Jujur berarti juga tidak mengambil hak orang lain. Gamblangnya, jangan mencuri. Dalam bahasa sekarang tidak melakukan korupsi atawa manipulasi. Begitu nasihat ibu ketika aku dulu mulai masuk dunia kerja.

Waktu aku masih SD, ibu pernah mendongengkan sebuah kisah tentang negeri yang seluruh penduduknya berlaku jujur. Di Nusantara pernah ada kerajaan yang bernama Kaling(a) di wilayah Jepara yang dipimpin oleh Ratu Si Ma. Kerajaan ini sangat terkenal sehingga banyak saudagar kerajaan lain yang singgah di pelabuhan Kaling. Kaling juga menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan dengan Tiongkok. Kaum cerdik pandai dari Tiongkok mencatat ciri dan kebiasaan di Kerajaan Kaling. Kota Kaling dikelilingi oleh pagar kayu, sedangkan Ratu Si Ma tinggal di sebuah rumah bertingkat. Rakyat Kaling kalau makan tidak menggunakan sendok atawa sumpit namun dengan cara muluk – menggunakan kelima jari tangannya. Minumannya berupa tuak yang disadap dari pohon siwalan. Rakyat Kaling menulis di atas rontal. Jika mereka meninggal, mayatnya dihiasi dengan pakaian emas dan di mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar dengan bau-bauan yang harum dan wangi. Dan ini yang paling penting: kejujuran menjadi ciri utama rakyat Kaling. Suatu hari, Ta Che – Kaisar Tiongkok yang berkuasa saat itu mengutus punggawanya yang bernama Fa Hien. Ia diperintahkan untuk meletakkan pundi-pundi yang berisi uang dan perhiasan di pinggir jalan di pusat Kota Kaling. Fa Hien tinggal di Kaling untuk mengetahui dan memantau keadaan pundi-pundi tersebut. Tak terasa tiga tahun sudah ia tinggal di Kaling, namun pundi-pundi tersebut tetap aman di tempatnya dan tak berkurang isinya. Akhirnya, Fa Hien pulang ke Tiongkok dan melaporkannya kepada Kaisar.

Note: Artikel Nostalgia bersama Ibu #4 ini untuk menyambut Hari Ibu tanggal 22 Desember