Rapor

Urusan sekolah anak-anaknya, ibu lebih tahu detil dibanding bapak. Peran bapak menyediakan dana dan tanda tangan rapor anak-anaknya, sedangkan ibu lebih dari itu. Ia bahkan hapal dengan nama teman-teman sekelasku. Jika aku memerlukan sebuah buku misalnya, aku akan bilang ke ibu. Apakah nanti dibelikan atawa tidak, urusan belakang.

Perkara belajar atawa mengerjakan PR ibu tak perlu repot-repot menyuruhku, karena menurutku, tugas anak sekolah itu ya belajar. Dan aku juga tahu diri, di sekolah aku tak berprestasi sehingga perlu banyak belajar.

Sering kali bapak dan ibu bilang kalau mereka tak bisa mewarisi harta-benda, hanya memberi ilmu dengan cara menyekolahkan anak-anaknya sampai bangku kuliah. Dan itu terlaksana.

Di masa SMP dan SMA dulu, kalau pembagian rapor di akhir semester orang tua/wali murid yang harus mengambilnya. Tentu dengan syarat, tak ada tunggakan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) atawa BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan). Untuk urusan ambil rapor, pasti ibu yang akan datang ke sekolahku.

Seingatku, ibu tak pernah mendengar namaku disebut oleh wali kelas sebagai sang juara kelas, bahkan juara ke-10 sekalipun. Meskipun nilaiku sering di atas (sedikit) rata-rata kelas. Tak apa, kata ibu. Memang, proses sekolahku mengalir saja. Teman-temanku naik kelas, aku juga naik kelas. Teman-temanku lulus sekolah, akupun juga lulus. Teman-temanku diterima di sekolah favorit di kota kabupaten, aku pun bisa diterima di sekolah itu. Bahkan nasib baik berada di pihakku ketika aku mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru, aku pun bisa masuk ke perguruan tinggi negeri yang cukup beken di negeri ini.

Kembali ke cerita rapor. Suatu ketika ibu pernah telat mengambil rapor. Alasannya apalagi kalau bukan karena telat bayar SPP. Sepertinya, jarik ibu yang jadi penyelamatnya.

Nanti, malam harinya, rapor itu disodorkannya ke hadapan bapak, dengan berkata singkat, “anakmu naik kelas.” Lalu, sepintas bapak melihat raporku, lalu mengambil bolpen pilot dari saku baju yang tergantung belakang pintu dan membubuhkan tanda tangannya.

Jamanku dulu, untuk masuk SMP atawa SMA mesti melalui tes tertulis. Sistem NEM belum ada. Waktu aku mau masuk SMA, bapak pernah berkata seperti ini, “Nanti kalau tidak bisa masuk SMA 1, kamu sekolah di SPG saja!” Ternyata aku lolos masuk SMA 1.

Kenapa bapak menyarankanku masuk SPG, bukan STM misalnya?

Note: Artikel Nostalgia bersama Ibu #5 ini untuk menyambut Hari Ibu tanggal 22 Desember